Teori Kebutuhan ala Nasruddin Khoja
Nasrudin
berbincang-bincang dengan hakim kota. Hakim kota, seperti umumnya cendekiawan
masa itu, sering berpikir hanya dari satu sisi saja. Hakim memulai,
"Seandainya
saja, setiap orang mau mematuhi hukum dan etika, ..."
Nasrudin
menukas, "Bukan manusia yang harus mematuhi hukum, tetapi justru hukum lah
yang harus disesuaikan dengan kemanusiaan."
Hakim
mencoba bertaktik, "Tapi coba kita lihat cendekiawan seperti Anda. Kalau
Anda memiliki pilihan: kekayaan atau kebijaksanaan, mana yang akan
dipilih?"
Nasrudin
menjawab seketika, "Tentu, saya memilih kekayaan."
Hakim
membalas sinis, "Memalukan. Anda adalah cendekiawan yang diakui
masyarakat. Dan Anda memilih kekayaan daripada kebijaksanaan?"
Nasrudin
balik bertanya, "Kalau pilihan Anda sendiri?"
Hakim
menjawab tegas, "Tentu, saya memilih kebijaksanaan."
Dan
Nasrudin menutup, "Terbukti, semua orang memilih untuk memperoleh apa yang
belum dimilikinya."
Cerita
di atas bisa disimpulkan dengan sangat sederhana bahwa: setiap orang pasti
menginginkan sesuatu yang tidak dia miliki, namun demikian, tidak semua yang
tak dimilikinya pasti inginkan!
(Kira-kira,
begitulah dalam rumusan logika tentang “aks al-mustawinya”)
Tapi,
coba kita lesatkan tanya pada kesimpulan di atas, “kenapa manusia seperti itu?
Kenapa ia berhasrat pada sesuatu yang ia tak punya?”
Sepertinya,
akan menjadi sebuah keharusan untuk melihat manusia lebih dari sekedar mahluk
yang memiliki hasrat. Sebab hal itu tidak akan menjadi pengurai bagi kekusutan
pikiran yang menjangkit pada segenap akal sehat penanya (baca: manusia).
Solusinya? Ya, kembalikan manusia pada fitrahnya: ia sebagai mahluk yang
mencintai kesempurnaan dan keadilan.
Manusia
yang melihat kekurangannya akan berjuang melatih dan meletihkan diri agar
terhindar darinya, sehingga kekurangan tersebut bisa dihilangkan sama sekali.
Hanya saja, alih-alih hendak menjadikan diri sempurna, ia malah terikat pada
“kebutuhan pada sesuatu yang lain,” sedangkan subjek yang masih membutuhkan hal
lain adalah definisi bagi ketaksempurnaan.
Hmm..
mungkin Anda hendak mengajukan tanya, “apakah ini tidak kontradiksi? Di sisi
lain Tuhan mengalirkan fitrah berupa kecintaan terhadap kesempurnaan, namun
faktanya manusia tak mungkin bisa sempurna?”
Tidak,
sekali-kali hal ini tidaklah kontradiksi! Manusia memang tidak bisa sempurna,
dan saat ia menyadarinya, ia pun paham bahwa keinginan dan hasrat pada sesuatu
yang sempurna tidak sinonim dengan menjadikan dirinya sempurna, namun hal
tersebut lebih ditujukan pada Sang Mahasempurna, Dia yang Mahaesa. Sehingga
benarlah jika dikatakan bahwa, “barang siapa yang tahu akan dirinya (tentang
ketidaksempurnaannya), ia akan mengenal Tuhannya (Yang Mahasempurna).”
Kesimpulannya? Tentu sangat sederhana: manusia memang mahluk
yang tidak sempurna, namun dari ketaksempurnaannya ia pasti dan tetap bisa
sampai pada Sang Mahasempurna.
Semoga
bermanfaat.