"Sebuah Konsorsium Para Filsuf Amatir"

Kamis, 11 Januari 2018

Teori Kebutuhan ala Nasruddin Khoja



Nasrudin berbincang-bincang dengan hakim kota. Hakim kota, seperti umumnya cendekiawan masa itu, sering berpikir hanya dari satu sisi saja. Hakim memulai,
"Seandainya saja, setiap orang mau mematuhi hukum dan etika, ..."
Nasrudin menukas, "Bukan manusia yang harus mematuhi hukum, tetapi justru hukum lah yang harus disesuaikan dengan kemanusiaan."

Hakim mencoba bertaktik, "Tapi coba kita lihat cendekiawan seperti Anda. Kalau Anda memiliki pilihan: kekayaan atau kebijaksanaan, mana yang akan dipilih?"
Nasrudin menjawab seketika, "Tentu, saya memilih kekayaan."
Hakim membalas sinis, "Memalukan. Anda adalah cendekiawan yang diakui masyarakat. Dan Anda memilih kekayaan daripada kebijaksanaan?"
Nasrudin balik bertanya, "Kalau pilihan Anda sendiri?"
Hakim menjawab tegas, "Tentu, saya memilih kebijaksanaan."
Dan Nasrudin menutup, "Terbukti, semua orang memilih untuk memperoleh apa yang belum dimilikinya."

Cerita di atas bisa disimpulkan dengan sangat sederhana bahwa: setiap orang pasti menginginkan sesuatu yang tidak dia miliki, namun demikian, tidak semua yang tak dimilikinya pasti inginkan!
(Kira-kira, begitulah dalam rumusan logika tentang “aks al-mustawinya”)
Tapi, coba kita lesatkan tanya pada kesimpulan di atas, “kenapa manusia seperti itu? Kenapa ia berhasrat pada sesuatu yang ia tak punya?”
Sepertinya, akan menjadi sebuah keharusan untuk melihat manusia lebih dari sekedar mahluk yang memiliki hasrat. Sebab hal itu tidak akan menjadi pengurai bagi kekusutan pikiran yang menjangkit pada segenap akal sehat penanya (baca: manusia). Solusinya? Ya, kembalikan manusia pada fitrahnya: ia sebagai mahluk yang mencintai kesempurnaan dan keadilan.
Manusia yang melihat kekurangannya akan berjuang melatih dan meletihkan diri agar terhindar darinya, sehingga kekurangan tersebut bisa dihilangkan sama sekali. Hanya saja, alih-alih hendak menjadikan diri sempurna, ia malah terikat pada “kebutuhan pada sesuatu yang lain,” sedangkan subjek yang masih membutuhkan hal lain adalah definisi bagi ketaksempurnaan.
Hmm.. mungkin Anda hendak mengajukan tanya, “apakah ini tidak kontradiksi? Di sisi lain Tuhan mengalirkan fitrah berupa kecintaan terhadap kesempurnaan, namun faktanya manusia tak mungkin bisa sempurna?”
Tidak, sekali-kali hal ini tidaklah kontradiksi! Manusia memang tidak bisa sempurna, dan saat ia menyadarinya, ia pun paham bahwa keinginan dan hasrat pada sesuatu yang sempurna tidak sinonim dengan menjadikan dirinya sempurna, namun hal tersebut lebih ditujukan pada Sang Mahasempurna, Dia yang Mahaesa. Sehingga benarlah jika dikatakan bahwa, “barang siapa yang tahu akan dirinya (tentang ketidaksempurnaannya), ia akan mengenal Tuhannya (Yang Mahasempurna).”
Kesimpulannya? Tentu sangat sederhana: manusia memang mahluk yang tidak sempurna, namun dari ketaksempurnaannya ia pasti dan tetap bisa sampai pada Sang Mahasempurna.

Semoga bermanfaat. 

Popular Posts

Blogroll

Blogger templates

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

Social Profiles

TwitterFacebookGoogle PlusLinkedInEmail

Info

Lorem ipsum no has veniam elaboraret constituam, ne nibh posidonium vel.

Cari Blog Ini

Find Us On Facebook

Featured Video

Featured Video

About

   
WhatsApp Dp

Pages - Menu

Popular Posts