"Sebuah Konsorsium Para Filsuf Amatir"

Selasa, 23 Januari 2018

Pergolakan Filsafat Islam dan Yunani



Oleh: Herlianto, mahasiswa STF Al- Farabi Kepanjen Malang

Kita juga bertanya-tanya apakah Islam juga berfilsafat? Pertanyaan ini mengarah kepada Islam yang diyakini sebagai sebentuk agama samawi. Sebagai agama samawi Islam bersumber dari sesuatu yang fundamental yaitu Tuhan melalui wahyu. Dengan begitu Islam, melalui al-Qur’an diyakini sebagai agama sempurna bahkan penyempurna terhadap agama sebelumnya. Al-Qur’an dalam hal ini juga member penyempurnaan terhadap kitab-kitab sebelumnya: Taurat, Zabur dan injil yang menurut beberapa komentator muslim kebenarannya sudah banyak dikorup oleh kaum yang menghendaki runtuhnya agama samawi.

Islam di abad ke-6 yang di bawa oleh Nabi Muhammad memunculkan suatu keraguan akan benar tidaknya bahwa ia memiliki nilai-nilai falsafi. Karena jauh sebelumnya di Yunani sejak 640 SM sudah memulai berfilsafat seperti Thales (640-546), Anaximandros (611-547), Anaximenes (538-480) dst. Meski secara definitive kata “filsafat” baru didiktumkan oleh Phytagoras pada (572-497) yang diambil dari kata philo= kebijaksanaan dan sofia = cinta. Dari pondasi awal ini terus bergulir hingga melahirkan filsuf yang terkenal Sokrates, Plato dan Aristoteles.
Kembali kepertanyaan awal, jika ujung tombak filsafat adalah akal (rasionalitas) maka Islam juga berfilsafat, karena al-Qur’an juga menjelaskan akal (afala ta’qilun). Dan jika filsafat bermuara pada kebijaksanaan maka al-Qur’an juga menjelaskan kebijaksanaa (hikmah). Rasionalitas murni dalam Islam dipraktekkan oleh Washil bin Attha’ pada 700-794 M atau abad ke 2 H yang selanjutnya disebuy kaum Mu’tazilah. Pengutamaan rasionalitas ini bahkan dijadikan sebentuk aliran negara pada masa Al-Ma’mun. sehingga segala pengingkaran terhadap akal sama dengan tindakan melanggar hukum. Dan wajib mendapatkan  punishment dari negara, bahkan dipancung.
Tapi sayangnya, rasionalitas Mu’tazilah ini tidak bisa dilepaskan dari percaturan politik pasca wafatnya Nabi. Ia menjadi sebentuk aliran yang muncul akibat benturan kepentingan antara kubu Ali dengan Muawiyyah untuk menguasai tahta kekhalifahan. Tetapi apapun alasannya Mu’tazilah menjadi deklator dominannya akal dalam tata kehidupan sehari-sehari.
            Dalam hal logika, ada yang berpendapat bahwa mantiq adalah tradisi teologi dalam Islam, baik kebutuhan retoris, membantah, menyusun argumentasi dan ekplanasi rasional[1]. Dalam hal ini dicetuskan oleh Abu Hanifah pada 768 M, meski ia masuk dalam daftar orang yang tidak patuh pada negara karena menolak al-Qur’an sebagai makhluk, sebagaimana yang diyakini oleh Mu’tazilah. Jadi meski belum ada kata “filsafat Islam”, tetapi dalam memahami ilmu kalam, para mutakallimin telah mendasarkan pada logika sebagaimana Aristoteles menggunakan organon ini dalam memahami hidup dan dunia.
            Konon melalui perkembangan ilmu kalam ini, filsafat Islam[2] mendapatkan akarnya untuk terus berkembang ke arah filsafat sejati. Sehingga yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah perbedaan antara tradisi ilmu kalam dengan filsafat Islam, karena sejatinya keduanya sama-sama menggunakan rasionalitas dan logika. Atau jangan-jangan sebenarnya Islam ini sudah tidak butuh kata “filsafat” karena secara perangkat filosofis Islam sudah punya. Lantas apa perlunya?
            Untuk menjawab itu semua perlu dipahami Islam sebagai agama dan Islam sebagai sebentuk ilmu pengetahuan. Sebagai agama, Islam akan berkutat pada persoalan tauhid dan fiqhiyah. Tauhid (teologi) hanya bertumpu pada iman, musyrik, murtad, syirik dst; sementara fiqhiyah hanya bergulat dengan halal, haram, makruh, mubah, sunnah dst. Dari sisi pengetahuan dapat dicapai melalui filsafat. Tidak mungkin perkembangan ilmu pengetahuan hanya dengan jalan murtad-iman dan halal-haram. Filsafat sebagai induk dari ilmu pengetahuan menkover Islam dari sisi pengetahuannya itu. Islam adalah teks yang mesti diinterpretasikan dengan menggunakan filsafat. Dengan demikian filsafat Islam menjadi upaya untuk melakukan singkronisasi (talfiq) antara rasionalitas dengan wahyu, antara inteligensia dengan spritualitas yang unjungnya nanti adalah Jivan Mukti (insan al-kamil). 
            Dalam hal penggunaan filsafat Islam secara definitif dipelopori oleh al-Kindi sekaligus  ditasbihkan sebagai filsuf Islam pertama. Di masa khalifah al-Mu’tasim 833M, pemuda yang lahir di Kufah pada 801 M ini, banyak melakukan penerjemahan terhadap magnum opus filsuf Yunani ke dalam bahasa Arab. Dikatakan ia menerjemahkan kurang lebih 650 buku Yunani dan hasil karya terjemahan tersebut disumbangsihkan pada Baitul Hikmah, salah satu perpustakaan Islam di masa al-Ma’mun. Al-Kindi sebagai seorang muslim yang cerdas dan banyak memahami berbagai ilmu mulai dari kedokteran, matematika, astronomi, fisika hingga bahasa Suryani yang merupakan bahasa para filsuf waktu itu melakukan transfer pengetahuan dari Yunani ke islam.
Lho kok bisa Islam sebagai ilmu pengetahuan harus melakukan adopsi metode dan epistemologi dari Barat? Apakah al-Qur’an tidak menyediakan itu semua? Bukankah Islam secara substantif telah lahir di masa nabi Adam sebagai manusia pertama dalam Islam. Bahkan nabi Ibrahim, jauh sebelum filsuf Yunani muncul, telah berfilsafat. Ketika ia tidak puas dengan matahari dan bulan diyakini sebagai tuhan oleh kaumnya. Ia berfilsafat setelah menggunakan rasionalitasnya bahwa mana mungkin sesuatu yang kadang muncul kadang hilang diyakini sebagai tuhan. Nabi Nuh pun diceritakan telah membuat kapal di atas gunung dalam rangka menyelamatkan kaumnya dari gempuran azab Tuhan yang berupa banjir. Bukankah dari itu semua adalah sebentuk metode/epistemologi. Belum lagi berbicara nabi Khidir yang konon amat cerdas dengan ilmu ladunni yang dimiliki.
Yang pasti al-Qur’an sebagi sumber khazanah pengetahuan Islam harus dipandang dari berbagai sudut. Dan mana mungkin sesuatu yang hendak dikaji telah menyiapkan perangkat untuk memahami dirinya. Maka Islam perlu mencari perangkat lain yang mampu menafsiri al-Qur’an secara utuh.   



________________________________________
[1] Ach. Dhofir Zuhry. Dalam makalah Filsafat Islam: awal peradaban dunia.2012
[2] Penggunaan nama filsat Islam awalnya adalah sebuah perdebatan dengan filsafat arab. Meskipun akhirnya diputuskan menggunakan filsafat islam karena ternyata umat islam tidak hanya terdpat dalam negara arab. Beberapa menggunakan filsafat dalam dunia islam. Drs. H. A. Mustofa. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia. 1997, hal 34-35.

Popular Posts

Blogroll

Blogger templates

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

Social Profiles

TwitterFacebookGoogle PlusLinkedInEmail

Info

Lorem ipsum no has veniam elaboraret constituam, ne nibh posidonium vel.

Cari Blog Ini

Find Us On Facebook

Featured Video

Featured Video

About

   
WhatsApp Dp

Pages - Menu

Popular Posts