KAPITALISME KULTURAL
Oleh : Abd Salam.
Di zaman postRealitas ini, tepatnya masyarakat MEA bahwa masyarakat di tuntut untuk nilai lebih, bekerja keras dengan skill untuk bersaingan dengan masyarakat lain. Masyarakat yang penuh dengan persaingan untuk meningkatkan pendapatan ekonomi Negara, maka ekonomi Negara kita semakin neoliberal bahkan mengadopsi nilai-nilai dan konsep yang gunakan oleh kaum sosialis.
Marx telah memprediksi bahwa ideolgi kapitalisme akan hancur dengan beberapa factor, factor internal dari kapitalisme sendiri dan factor ekternal, karena perjuangan masyarakat proletar. Mari kita telisik lebih jauh, kenapa sampai detik ini kapitalisme tidak runtuh bahkan semakin berkembang pesat, hal ini kita bisa lihat bahwa kapitalisme selalu memperbaharui dirinya sendiri sehingga selalu muncul sosok baru, sebab kapitalisme mulai meninggalkan struktur hirarkis Fordist dalam proses produksi dan diganti dengan bentuk organisasi berbasis-jaringan didasarkan pada inisiatif pegawai dan otonomi di tempat Kerja.
Bukannya rantai komando yang tersentral-hirarkis, kita sekarang melihat Jaringan yang terdiri dari banyak orang, dengan pekerjaan diorganisir dalam bentuk tim atau proyek, dan dengan mobilisasi besar-besaran dari para pekerja untuk memenuhi kepuasan pelanggan berdasar visi dari pemimpin mereka. Dengan cara ini, kapitalisme bertranformasi dan dilegitimasi sebagai sebuah konsep yang egaliter: dengan memperhatikan interaksi puitis-otomatis dan swakelola spontan, dia bahkan menyerap retorika kiri yaitu manajemen mandiri pekerja, sehingga merubahnya dari slogan anti-kapitalis menjadi slogan kapitalis.
Maka spirit kapitalisme ini membentuk kesatuan ekonomi, sosial dan kultural yang spesifik, kesatuan ini menjadi justifikasi dari “pasca-modernisme.”, meskipun banyak kritik yang memang beralasan diarahkan terhadap pasca-modernisme sebagai bentuk baru ideology, namun menurut Jean-Francois Lyotard, dalam The Postmodern Condition, istilah itu dari sekedar penamaan untuk kecenderungan artistik tertentu yang baru (khususnya dalam sastra dan arsitektur) menjadi istilah untuk menyebut epos historis baru, ada aspek yang otentik dari hal ini. “Pasca-modernisme” sekarang praktis berperan sebagai Penanda-Utama yang baru yang membawa tatanan baru dari pengetahuan kedalam pengalaman historis yang multi-ragam.
Dalam spirit yang baru adalah apa yang disebut “kapitalisme kultural”: kita umumnya membeli sebuah komoditi tidak lagi karena masalah fungsi atau status simbolik; kita membeli untuk menikmati pengalaman karena membelinya, kita mengkonsumsi barang untuk membuat hidup kita menjadi lebih menyenangkan dan berarti. Sesuai dengan tiga konsepsi Lacan: yang Real, Simbolik dan Imajiner. yang Real berupa fungsi langsung (makanan sehat, mobil berkualitas), yang Simbolik dari status (saya membeli mobil tertentu untuk menunjukan status) yang Imajiner dari pengalaman yang menyenangkan dan bermakna.
Mengkonsumsi dianggap sebagai upaya untuk mempertahankan kualitas hidup, sehingga waktu seharusnya menjadi “waktu yang berkualitas” – bukan waktu alienasi, seakan-akan dipaksakan kepada masyarakat kita, waktu yang secara otentik bisa memuaskan Diri Sejati, akan sensasi kenikmatan dari pengalaman, dan peduli kepada orang lain, melalui keterlibatan didalam kegiatan amal atau ekologi.
Situasi ini mengarahkan kita pada jalan buntu dari “masyarakat pilihan” kontemporer dalam bentuknya yang paling radikal, meskipun para ahli mengatakan bahwa kebebasan untuk memilih adalah sebuah ilusi, kita melihat diri kita sebagai “bebas” semata hanya ketika kita mampu bertindak sesuai dengan apa yang ditentukan lingkungan kita, dengan tanpa hambatan eksternal yang menolak keinginan internal kita. Ekonomi liberal menekankan kebebasan memilih sebagai resep utama dari ekonomi pasar: dengan membeli barang, kita terus menerus memilih dengan uang kita. Pemikir eksistensial “yang mendalam” sering mengembangkan variasi bahasan mengenai pilihan eksistensial “otentik“ ini, dimana inti dari keberadaan kita dipertaruhkan – pilihan yang melibatkan keterlibatan eksistensial sepenuhnya, berlawanan dengan pilihan semu dari komoditi tertentu. Bagaimana jika sebaliknya, pilihan itu memang bebas dan karena itu, justru menjadi lebih membuat frustasi? Sehingga kita mendapati diri kita terus-menerus berada pada posisi untuk memutuskan masalah yang secara mendasar mempengaruhi hidup kita, tapi tanpa dasar pengetahuan yang cukup. Mengutip John Gray: “kita terdampar di masa dimana semua hal adalah sementara. Setiap hari, muncul teknologi baru merubah kehidupan kita. Tradisi masa lalu tidak bisa dipakai. Pada saat yang sama, kita tidak banyak tahu apa yang akan terjadi nanti. Kita dipaksa hidup seolah kita bebas.”
Kondisi ini selalu menekan kita untuk memilih melibatkan, tidak hanya pengabaian terhadap obyek pilihan,karena kemustahilan subyektif untuk memenuhi tuntutan hasrat. Kata Lacan bahwa obyek hasrat adalah sebagai hal yang dari awal memang tidak ada, artinya kita tidak akan pernah tahu apa yang kita inginkan sehingga terpaksa melakukan pencarian abadi terhadap obyek yang “sejati”, yaitu void dari hasrat itu sendiri, sementara semua obyek positif hanya semata pengganti metonimis-nya. Lebih lanjut, Lacan mengatakan obyek yang hilang ini pada akhirnya adalah subyek itu sendiri, subyek sebagai obyek; yang berarti bahwa pertanyaan tentang hasrat, enigma aslinya, bukan “Apa yang aku inginkan?” tapi lebih pada “Apa yang diinginkan orang lain dariku? Obyek – apa yang mereka lihat dariku?
Oleh karena nya, kenapa pertanyaan histerikal “Kenapa namaku itu?” (dengan kata lain, dari mana identitas simbolik kita berasal, apa yang melandasinya?. Lacan mengambarkan bahwa subyek itu sendiri adalah histeris. Dia menjelaskan subyek secara tautologis sebagai “yang bukan merupakan sebuah obyek,” karena kemustahilan dari mengidentifikasi diri sebagai obyek yaitu, tahu apa sebenarnya kita secara libidinal bagi yang lain. hal itu yang menyusun diri kita sebagai subyek. Dengan cara ini, Lacan menghasilkan seperangkat keragaman posisi subyektif “patologis”, dan melihatnya sebagai keragaman dari jawaban atas pertanyaan histeris: yang histeris dan obsesif mengulangi dua faktor dari pertanyaan – psikotis tahu dirinya merupakan obyek dari jouissance yang Lain, sedangkan kecabulan melihat dirinya sebagai instrument dari jouissance yang Lain.
1.Penelitian terbaru telah bergerak jauh lebih maju dari pada eksperimen klasik Benjamin Libel dari 1980an, yang menunjukkan bagaimana otak kita membuat keputusan sekitar 0,3 detik sebelum kita menyadarinya. Dengan mengukur aktivitas otak selama proses penyelesaian masalah yang rumit, kita bisa menyimpulkan bahwa otak seseorang akan mempunyai wawasan yang ajaib terhadap masalah yang dihadapi sepuluh detik sebelum dia menyadari itu.
Lihat:
1."Incognito:” Economist, 18-24 April 2009 , hal. 78-9.
2. Leonardo Padura, Havana Gold, London: Bitter Lemon Press 2008, hal. 233-4
3. Gray, Straw Dogs. hal. 110.