HIJRAH NASIONAL DAN ISME-NYA
Memaknai Hijrah kali ini (1439 H) tidak ada salahnya kalau kita baca kembali—tentu dengan perspektif baru—perihal nasionalisme kita. Adalah Benedict Anderson dan Musthafa el-Ghalayaini yang saya kira mewakili topik ini, meski mereka adalah generasi yang berbeda.
Paman Ben Anderson dalam bukunya Imagined Communities memaknai nasionalisme dengan rasa dan budaya malu (shame culture), sementara Tuan Guru el-Ghalayaini melalui 'Idhotun Nasyi-in memaknainya sebagai keberanian (syaja'ah). Bagaimana tali-temali dan penjengkaran nilai keduanya?
Bilamana kita telisik lagi peristiwa (lebih tepatnya tragedi) kemanusian yang berujung pada air mata sosial, seperti: Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh, Rentetan kasus-kasus Trisakti, Malari, Kudatuli, Tanjung Priok, tragedi Santa Cruz di Dili, pembantaian Udin, Theys Eluay, kasus Marsinah dan pembunuhan Munir, belum tuntasnya penanganan Republik Maluku Selatan (RMS), Republik Papua Merdeka (RPM), perusakan dan pembakaran tempat ibadah, politisasi simbol-simbol agama dan ideologi, misalnya goreng-mengoreng isu PKI, darurat deradikalisasi, dll dalam pandangan paman Ben disebut "Malpraktik Nasionalisme". Apa sebab?
Nasionalisme semacam ini cenderung "oppressive" dan selalu menagih tumbal sebanyak mungkin dan tidak menutup kemungkinan justru akan meruntuhkan Indonesia sebagai negara-bangsa. Saya memprediksi, tidak sampai 30 tahun lagi Indonesia akan berkeping-keping menjadi sekian kavling negara atau bahkan menjadi provinsi dan negara-negara bagian dari para adikuasa.
Tanpa diperangi pun, Indonesia akan hancur dan tenggelam ke dasar jahannam, jika ulah para politisinya masih seperti pesinetron dan sosialita, jika mental para penegak hukum dan pejuang keadilan masih seperti srigala, jika prilaku para pengusaha dan pemilik modal semakin memperbuncit perut mereka sendiri, jika para ilmuwan dan tokoh agama hanya bersinggasana di menara gading. Ingat, Negara dan rakyat ini bukan mainan!
Sementara itu el-Ghalayaini (1951) mengkhawatirkan prilaku terlampau berani orang-orang primitif (badawah) serta berpandangan jumud dalam memperjuangkan nasionalismenya yang seakan mengarah pada pembenaran "lebih baik dijajah bangsa sendiri dari pada dijajah asing" serta kanalisasi-kanalisasi ruang gerak nasionalisme pada agama anu, golongan itu dan mazhab tertentu. Lalu yang muncul ke permukaan adalah fanatisme, barbarisme, ngacengisme, gigantisme, profitisme golongan bertopeng nasionalisme. Ini yang sedang marak di Negeri kita, terutama hingga 2019 nanti di mana populasi cacing kalung, ular belunat, srigala-srigala kadut dengan berbagai wajah (birokrat, politisi, penegak hukum, akademisi, pengusaha dan bahkan tokoh agama).
Paman Ben jauh-jauh hari telah meramalkan keruntuhan Soviet dan Ceko-Slovakia pada 1982, atau satu dekade sebelum kedua negara Eropa timur itu runtuh. Lagi-lagi kerana nasionalisme disalahmengerti dan disikapi secara gegabah oleh ambisi-ambisi segelintir oknum yang kerap melakukan propaganda dan goreng-menggoreng isu. Bukankah cara pandang semacam inilah yang terjadi di Timor Timur sampai berujung pada Referendum 18 tahun silam? Dan kita harus belajar dari peristiwa itu agar tidak terulang di Aceh dan Papua! Terutama, jika pemerintah mau serius pasang badan melawan kekuatan asing, para penjilat, pencoleng dan begundal-begundal mereka yang sering kencing dan buang ingus di gedung Dewan.
Perlu digarisbawahi bahwa nasionalisme dan bahkan negara-bangsa kita ini masih rapuh dan keropos dalam banyak sisi dan aksentuasi. Setiap etnik tentu memiliki penghayatan yang berbeda-beda tentang nasionalisme dan aksentuasinya, sebab itu pula rasa hayat dan sikap kebangsaan sesama kita juga menjadi rentan. Bahkan, pada tataran imajinasi tentang nasionalisme saja kita masih ringkih dan kerap "ejakulasi dini". Nasionalisme teramat universal untuk kita alirkan pada selokan-selokan anyir dan sempit bernama conflict of interest di tubuh parpol-parpol dan instansi pemerintah. Nasionalisme juga terlalu agung untuk dikotori dengan syahwat-syahwat futuristik nan oportunis ala penjaja hoax dan pengasong isu-isu agama. Pendek kata, nasionalisme kita tidak seperti sinetron yang harus genit dan cengeng dengan alur konsumerisme dan sikap latah generasi muda.
Harus disadari dan diinsyafi bahwa nasionalisme adalah produk baru, lahir di awal abad ke-20. Ia sangat rentan tercabik dan koyak-moyak, bahkan boyak oleh kekerdilan pola pikir dan pola sikap anak bangsa ini—seperti dicontohkan kebanyakan elite DPR dari parpol-parpol penjaja agama dan asongan hoax serta bani ngacengan alias sumbu pendek. Lebih-lebih, mereka yang hanya berjuang untuk partai dan golongan kemudian mengatasnamakan Indonesia. Di sinilah kedewasaan menentukan sikap vis a vis kerapuhan nasionalisme mendapati bentuknya yang paling konfrontatif.
Oleh karenanya, memaknai hijrah nasional(isme) adalah dengan menghayati jasa para pahlawan dan pejuang serta imajinasi tentang NKRI ini harus terus dirawat dan direvitalisasi, terutama di tengah gencarnya pendangkalan nilai-nilai keindonesiaan yang kian ugal-ugalan belakangan ini. Dimulai dari diri sendiri, keluarga, sekolah, pesantren, komunitas dan bangsa. Semoga segenap elemen bangsa ini: birokrat, pengusaha, akademisi, santri, ormas-ormas, parpol, media, budaya-budaya pop bisa hijrah dari sikap-sikap ahistoris yang berujung pada deeksistensi diri dan bangsa ini menuju kesadaran semesta dan aksi-aksi nyata. Terima kasih paman Ben, matur nuwun tuan guru el-Ghalayain.
Salam takzim,