"Sebuah Konsorsium Para Filsuf Amatir"

Senin, 01 Januari 2018

“Maaf” dan Maknanya yang tak Lagi Ada

Oleh: Ach. Khoirun Nafiz.

Bukan sebuah kebetulan jika setiap Idul Fitri ponsel atau akun media sosial kita selalu dipenuhi dengan ucapan “selamat hari raya” dan “mohon maaf lahir batin.” Mulai dari keluarga, saudara, tetangga, teman bahkan iklan sarung dan sirup yang sesekali mampir di layar televisi. Sungguh fenonema tahunan yang menarik!

Hanya saja, sebagaimana hukum kekekalan energi: ketika ada yang bertambah pasti ada yang berkurang, efek domino yang dirasakan dari kata “maaf” yang membanjiri kita adalah ketiadaan makna di dalamnya. “Maaf” yang lazimnya dibarengi dengan penyesalan, i’tikad untuk tidak mengulangi kesalahan, janji akan melakukan sesuatu yang lebih baik dan sebagainya serasa asing dalam diri kata tersebut. Sehingga antara subjek dan objek dalam komunikasi tersebut tidak benar-benar saling memaafkan. Sebab kata maaf itu tak lebih ibarat ba(ha)sa basi yang ada-nya tidak mengenyangkan—karena tak menarik untuk dikonsumsi.
Suatu kata atau kalimat idealnya memiliki performa,[1] atau meminjam istilah John Langsaw Austin, speech-act (tindak-ucapan). Dengan ini, sebuah ungkapan akan lebih hidup, sebab tujuannya bukan sekadar berbahasa atau menyampaikan suatu pernyataan tapi merealisasikannya dengan tindakan. “Makna” adalah penyelamat “kata” dari kekeringan. Sehingga, seorang “pengusaha kata” memiliki stamina optimal dan gairah dalam denyut hidupnya.
Jika demikian, apakah kata “maaf” harus dilupakan? Tidak disebar lewat SMS atau media sosial lainnya? Tentu tidak! Sekali-kali tidak demikian. Kata “maaf” tetap diucapkan kepada keluarga, tetangga atau sahabat, namun kualitas dan isi dari kata tersebut ditingkatkan.
Salah satu cara yang konkret ialah dengan tidak mengumbar kata “maaf” secara serampangan, tapi cobalah sapa satu persatu, sebutkan nama masing-masing orang yang ingin kita pintai maaf. Dengan begitu, maka komitmen dan janji untuk benar-benar berbuat baik kepada mereka bisa tertanam dengan subur.
Lebih lanjut, mengerti makna dari “maaf” berikut objektivikasinya juga baik untuk menjaga kata tersebut dari hilang arti. Bahwa kata “maaf” yang kita tujukan kepada keluarga atau teman yang sudah lama kita kenal memiliki makna permintaan agar orang tersebut benar-benar memaafkan kesalahan yang sudah kita lakukan, entah disengaja atau tidak. Sedangkan kata “maaf” kepada orang yang baru atau bahkan pertama kali kita jumpai akan bermakna sebuah komitmen untuk memperlakukannya dengan baik, bijaksana dan penuh keakraban.
Dan yang juga tak kalah penting, selama masih bisa, mari budayakan silaturrahmi secara fisik, bukan hanya sekedar di akun medsos. Sebab, keakraban nyata terkadang sedikit hilang kehangatannya karena terkikis oleh pertemuan di dunia maya. Ini efek yang kiranya penting untuk dihindari.
Semoga kita dijauhi dari kata “maaf” yang kerontang dari makna dan jauh akan ketulusan hati.






[1] Kebenaran performatif dalam filsafat mengacu, salah satunya, pada suatu kata atau kalimat. Secara sederhana teori ini berbunyi: suatu pernyataan bisa dianggap benar ketika ia dilakukan. Seperti sebuah janji yang dibuat oleh seseorang akan dianggap “benar” apabila ia merealisasikannya.

Popular Posts

Blogroll

Blogger templates

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

Social Profiles

TwitterFacebookGoogle PlusLinkedInEmail

Info

Lorem ipsum no has veniam elaboraret constituam, ne nibh posidonium vel.

Cari Blog Ini

Find Us On Facebook

Featured Video

Featured Video

About

   
WhatsApp Dp

Pages - Menu

Popular Posts