“Maaf” dan Maknanya yang tak Lagi Ada
Oleh: Ach. Khoirun Nafiz.
Bukan sebuah kebetulan jika
setiap Idul Fitri ponsel atau akun media sosial kita selalu dipenuhi dengan
ucapan “selamat hari raya” dan “mohon maaf lahir batin.” Mulai dari keluarga,
saudara, tetangga, teman bahkan iklan sarung dan sirup yang sesekali mampir di
layar televisi. Sungguh fenonema tahunan yang menarik!
Hanya saja, sebagaimana hukum
kekekalan energi: ketika ada yang bertambah pasti ada yang berkurang, efek
domino yang dirasakan dari kata “maaf” yang membanjiri kita adalah ketiadaan
makna di dalamnya. “Maaf” yang lazimnya dibarengi dengan penyesalan, i’tikad
untuk tidak mengulangi kesalahan, janji akan melakukan sesuatu yang lebih baik
dan sebagainya serasa asing dalam diri kata tersebut. Sehingga antara subjek
dan objek dalam komunikasi tersebut tidak benar-benar saling memaafkan. Sebab
kata maaf itu tak lebih ibarat ba(ha)sa basi yang ada-nya tidak
mengenyangkan—karena tak menarik untuk dikonsumsi.
Suatu kata atau kalimat idealnya
memiliki performa,[1]
atau meminjam istilah John Langsaw Austin, speech-act (tindak-ucapan).
Dengan ini, sebuah ungkapan akan lebih hidup, sebab tujuannya bukan sekadar
berbahasa atau menyampaikan suatu pernyataan tapi merealisasikannya dengan tindakan.
“Makna” adalah penyelamat “kata” dari kekeringan. Sehingga, seorang “pengusaha kata”
memiliki stamina optimal dan gairah dalam denyut hidupnya.
Jika demikian, apakah kata “maaf”
harus dilupakan? Tidak disebar lewat SMS atau media sosial lainnya? Tentu
tidak! Sekali-kali tidak demikian. Kata “maaf” tetap diucapkan kepada keluarga,
tetangga atau sahabat, namun kualitas dan isi dari kata tersebut ditingkatkan.
Salah satu cara yang konkret ialah
dengan tidak mengumbar kata “maaf” secara serampangan, tapi cobalah sapa satu
persatu, sebutkan nama masing-masing orang yang ingin kita pintai maaf. Dengan
begitu, maka komitmen dan janji untuk benar-benar berbuat baik kepada mereka
bisa tertanam dengan subur.
Lebih lanjut, mengerti makna dari
“maaf” berikut objektivikasinya juga baik untuk menjaga kata tersebut dari
hilang arti. Bahwa kata “maaf” yang kita tujukan kepada keluarga atau teman
yang sudah lama kita kenal memiliki makna permintaan agar orang tersebut
benar-benar memaafkan kesalahan yang sudah kita lakukan, entah disengaja atau
tidak. Sedangkan kata “maaf” kepada orang yang baru atau bahkan pertama kali
kita jumpai akan bermakna sebuah komitmen untuk memperlakukannya dengan baik,
bijaksana dan penuh keakraban.
Dan yang juga tak kalah penting,
selama masih bisa, mari budayakan silaturrahmi secara fisik, bukan hanya
sekedar di akun medsos. Sebab, keakraban nyata terkadang sedikit hilang
kehangatannya karena terkikis oleh pertemuan di dunia maya. Ini efek yang
kiranya penting untuk dihindari.
Semoga kita dijauhi dari kata
“maaf” yang kerontang dari makna dan jauh akan ketulusan hati.
[1]
Kebenaran performatif dalam filsafat mengacu, salah satunya, pada suatu kata
atau kalimat. Secara sederhana teori ini berbunyi: suatu pernyataan bisa
dianggap benar ketika ia dilakukan. Seperti sebuah janji yang dibuat oleh
seseorang akan dianggap “benar” apabila ia merealisasikannya.