"Sebuah Konsorsium Para Filsuf Amatir"

Rabu, 31 Januari 2018

Bertauhid: Pentingkah?

Bertauhid: Pentingkah?[1]

Oleh: Ach. Khoiron Nafis[2]
..Kalau-kalau yang disembah
ombak dalam sembahyang batu karang
adalah ziarah warna langit menyelami
biru laut, maka berteriaklah pada purnama!
Agar syahadat diembunkan langit
dalam rekaat fajar yang
tak pernah berpamit..!
(ADZ)

A. Pada Awalnya..
            Percumbuan ilmu kalam kian lekat di bibir para teolog muslim pada abad ke-2 H, ‘melewati’ beberapa kepala para mutakallimin, ia pun tak bisa dibendung, bertransformasi menjadi mazhab. Keabsolutan Tuhan mulai ramai ditanyakan, segala argumen pembenaran dilontarkan, dialektika dengan logika pun, tak ayal, berkembang kian pesat. Ditambah lagi dengan formalisasi pengkajian dan penerjemahan karya filsafat Yunani, Persia dan India[3] mendapat restu dari khalifah al-Makmun (w. 218 H); Yuhana ibn Masawayah, sebagai pimpinan lembaga kajian Bait al-Hikmah; dan Hunain ibn Ishaq, seorang Nestorian, yang dikenal sebagai penerjemah besar dalam sejarah Islam.
            Tapi, apa korelasi antara ilmu kalam dengan ilmu tauhid? Jawabannya, sama. Ilmu tauhid adalah nama lain dari ilmu kalam.[4]  Dari sinilah kita bertolak menuju bianglala pemikiran dan—sekaligus—belajar menggembalakan akal demi teguhnya iman!

B. Tauhid Filosofis
            Inilah proses awal: pemberangkatan akal budi, dengan kritisismenya, menuju dialektika untuk menemukan Tuhan—pada akhirnya. Kenapa harus? Sebab Tuhan bukan warna yang bisa diindera mata, juga bukan suara yang dapat diketahui oleh telinga; lebih dari itu, Dia adalah Dzat yang bisa ditangkap ke-ada-anNya dengan akal manusia. Filsafat, sebagai upaya akal (muhawalah al-‘aql) menemukan esensi segala sesuatu,[5] tentu menjadi sarana utama untuk menemukanNya. Ini tuntutan zaman, terutama, ketika sikap kritis menggemakan dirinya dalam bentuk tanya yang kian beragam. Layaknya, kita harus melakukan safar (perjalanan) dengan konsisten (dawam) pada hal berikut.
·         Dawam al-Fikr (senantiasa berpikir). ‘Logika’ untuk membantu proses ini telah diteorikan oleh para filsuf[6] dan mutakallimin[7], yang telah sama-sama membuktikan eksistensi (wujud) Tuhan. Lebih dari itu, sains dengan berbagai perkembangannya, juga menunjukkan bahwa alam ini bukan seonggok materi tanpa Pencipta dan Perancang.[8]
·         Dawam ad-Dzikr (berdzikir selalu). Saat akal, dengan segala daya yang dimilikinya, menyimpulkan bahwa “ada Yang Menciptakan alam”, memiliki ‘titik tumpul’—karena tak mampu mengetahui namaNya—akan ditambal dengan dengan risalah yang dibawa Nabi. Dari tahapan ini, maka kesadaran mengahamba dan mempertuhankan Sang Pencipta akan tumbuh dalam nurani tiap pribadi—inilah yang kita sebut sebagai iman. Seperti definisi yang diberikan Imam Fakhruddin ar-Razi, al-iman laisa bi at-tamanni walakin waqqara fi qalbi wa shaddaqahu al-`amal (iman bukanlah angan-angan, tapi sesuatu yang mengkristal dalam hati dan diimplementasikan dengan perbuatan).
·         ‘Amal Sholeh. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Islam tak hanya mengajarkan kepercayaan, namun juga tata cara dalam kehidupan; tak cuna mengagungkan pengetahuan, tapi juga perbuatan. Mengatakan kita beriman dengan dalih telah memahami aqaa`id khamsin, misalny—sebagaimana telah digagas oleh para pemuka Ahlussunnah wal Jamaah—tetap tak mengubah murka dan siksa Tuhan, jika perintah dan larananNya tak kita patuhi. Artinya, hanya bermodal pengetahuan belumlah cukup, ada tanggungjawab untuk patuh, sebagai mahluk tentunya.
Konsep tri-hablum (min Allah, min an-nas, min al-‘alam) adalah jawaban konkret dari itu. Mengupayakan kemesraan bersama Tuhan, keharmonisan dengan manusia dan melestrarikan keteraturan alam. Sehingga, berbagai bentuk keserasian dan berbagai keindahan adalah sesuatu yang niscaya! Hah, Anda percaya?


C. Kembali ke Fitrah..
            Tauhid, dengan segala macam bentuk dan ragam namanya, mesti bersinggungan dengan “logika”, difasilitasi “dialektika”, hingga menemukan ‘dirinya’ dalam bentuk paripurna: iman. Implementasinya ada pada sebuah kalimat: la ilaha illa Allah. Ya, hanya satu kalimat!
            Tapi, Imam Fakhruddin ar-Razi memberikan klasifikasi para pengucap lafazh ini menjadi lima[9],
·         Mereka yang melafalkan guna melindungi harta dan nyawanya; ini adalah golongan orang munafik.
·         Golongan yang menggabungkan pernyataan lisan dan keyakinan lewat jalan taklid.
·         Orang-orang yang mengetahui Tuhan hanya dengan dalil-dalil ijmali (global).
·         Para teolog yang mampu meramu berbagai bukti eksistensi Tuhan dengan dalil tafshili (kuat dan terperinci), tapi mereka tidak sampai pada tingkatan ahli musyahadah. Yang mencapai tingkatan ini sangatlah jarang, sebab dibutuhkan konsentrasi yang tinggi dan konsistensi dalam upaya muhawal al-‘aql; dan
·         Para pencapai tingkatan musyahadah dan mukasyafah, mereka yang mendapat ceruk cahaya anugerah Tuhan berupa ilmu mukasyafah. Ilmu ini merupakan bentuk ekspresi dari perjalanan akal melalui berbagai tingkat keindahan, keagungan, kebesaran dan kesucian ilahi.
Mereka mendapat anugerah penyaksian bahwa tak ada satupun di semesta alam ini yang lepas dariNya. Hingga tak ada syirik, baik secara implisit atau eksplisit, yang membekap dan memerintahkan hatinya untuk menyelingkuhi Tuhan.
            Wallahu a’lam bis shawab..



[1] Disampaikan pada 30 Maret 2014
[2] Santri STF Al-Farabi, Kepanjen-Malang
[3] Akademi Jundishapur di Persia, ini terutama yang menjadi gelanggang pertukaran ragam pengetahuan, baik dari Yunani, Persia, Roma, Suryani dan India. Jundishapur juga dikenal sebagai tempat pelarian para ilmuan pasca ditutupnya akademi Edessa oleh kaisar Zeno pada tahun 489 M dan akademi Plato oleh  kaisar Justianus tahun 529 M. Lebih lanjut, lih. Essay Syed Nomanul Haq, dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, jilid I.
[4] Paling tidak, ada sebutan lain untuk ilmu kalam: 1. Al-Fiqh al-Akbar, oleh Imam Hanafi; 2. Ilm Ushul ad-Din, seperti tertera dalam kitab Imam Asy’ari, al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diniyyah; 3. Ilm al-‘Aqa’id, digunakan oleh Imam at-Thahtawi dan Imam al-Ghazali; 4. Ilm an-Nadzar wa al-Istidlal, ditemukan dalam mukaddiah Imam Taftazani, Syarh al-‘Aqa’id an-Nafsiyyah; 5. Ilm at-Tauhid wa as-Shifat, juga oleh Imam Taftazani; 6. Ilm at-Tauhid, dalam Risalah at-Tauhid-nya Muhammad Abduh. Lebih lanjut, lih. Ibid, hal. 90-91.
[5] Syaikh Ibn Nadim, Qisshah al-Iman baina al-Falsafah wa al-‘Ilm wa al-Qur’an, h. 26
[6] Aristoteles, misalnya, dengan konsep Prima Kausa, telah membuktikan bahwa ada Sesuatu, yang ia sebut sebagai Muharrik al-Awwal (Penggerak Pertama).
Dalam Islam, kita juga bisa menemukan ketakjuban ketika Ibn Sina memberi konsep wujud: wajib, muhal dan mumkin; dan banyak lagi pencapaian yang termaktub oleh sejarah.
[7] Sebut saja Imam Asy’ari dan Imam Maturidi, yang dengan cerdas merumuskan konsep tentang Tuhan. Paling tidak, ini kita jadikan sebagai peta perjalanan spiritual.
[8]Dikenal dengan teori Teleologis, alam bergerak tidak dengan alasan “kebebtulan”, tapi sesuai dengan rancangan Sang Pencipta.
[9] Imam Fakhruddin ar-Razi, ‘Aja`ib al-Qur`an, trj. Fauzi Faisah Bahreisy, Kecerdasan Bertauhid, h. 185-188

Popular Posts

Blogroll

Blogger templates

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

Social Profiles

TwitterFacebookGoogle PlusLinkedInEmail

Info

Lorem ipsum no has veniam elaboraret constituam, ne nibh posidonium vel.

Cari Blog Ini

Find Us On Facebook

Featured Video

Featured Video

About

   
WhatsApp Dp

Pages - Menu

Popular Posts