ANTARA ESENSI DAN AKSIDEN
Oleh: Adnan Faqih.
Kata esensi berasal dari bahasa Latin essentia, dari esse
(ada). Esensi adalah apa yang membuat sesuatu menjadi apa adanya, sedangkan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) esensi adalah hakikat, inti, atau hal yang
pokok. Contoh sederhana, esensi dari sebuah rokok sehingga bisa dikatakan
"rokok” adalah dengan adanya kertas dan tembakau, jadi esensi dari rokok adalah
kertas dan tembakau, adapun cengkeh, gabus dan yang lain hanya tambahan saja.
Lain
lagi dengan aksiden, dalam bahasa Inggris
accident berasal dari bahasa Latin accidens yang berasal dari
kata kerja accidere : ad (pada) dan cidere (jatuh).
Secara harfiah
aksiden berarti sesuatu yang jatuh pada yang lain, atau (agar lebih mudah)
aksiden bisa juga di artikan sebagai sifat. Contoh sederhana, telah disebutkan
di atas bahwa kertas dan tembakau merupakan esensi dari rokok, adapun aksidennya
adalah bentu katu warnanya seperti berbentuk tabung dan sedikit panjang serta
(kadang) berwarna putih dan ada sedikit tulisan. Bisakah rokok dikatakan
”rokok” jika hanya terdiri dari cengkeh dan kertas saja? Atau terdiri dari
kertas dan gabus saja? Atau gabus dan cengkeh saja? Tentu tidak bisa, tetapi rokok
sudah bisa kitakatakan ”rokok” jika sudah terdiri dari kertas dan tembakau, hal
ini mengindikasikan bahwa yang paling esensi dari rokok adalah kertas dan
tembakau saja sedangkan yang lainnya hanyalah tambahan dan aksiden.
Dari
dua pemahaman di atas manakah yang lebih penting antara esensi dan aksiden?
Mari kita uji! Bisakah rokok memiliki bentuk tanpa adanya tembakau yang di
gulung oleh kertas? Tentu tidak bisa. Tetapi jika kita sudah memiliki tembaku
dan kertas kemudian di linting maka dengan sendirinya akan memiliki bentuk serta
warna yang terbapat pada kertas. Artinya, jika sudah ada esensi maka dengan sendirinya
akan ada aksiden, tetapi tidak sebaliknya, aksiden tidak munkin ada tanpa adanya
esensi. Hal ini mengindikasikan bahwa yang lebih penting antara esensi dan aksiden
adalah esensi.
Banyak
orang mengaku dirinya sebagai orang Islam tetapi tidak menjalankan apa yang
paling esensi dari Islam itu sendiri, apakah mereka bisa dikatakan sebagai muslim?
Yang perlu diketahui adalah “Islam” merupakan aksiden, adapun esensinya adalah nilai-nilai
yang terdapat dalam Islam itu sendiri. Kita tahu bahwa esensi dalam agama Islam
adalah nilai-nilai yang terdapat dalam rukun Islam yakni mengucapkan dua kalimat
syahadat, menegakkan sholat (wajib) 5 waktu, mengerjakan puasa, menunaikan
zakat, dan melaksanakan ibadah haji. Tetapi setelah di analisis lagi yang
paling esensi darirukun Islam hanya ada dua, yakni mengucapkan dua kalimat syahadat
dan menegakkan sholat, karena dua hal ini tidak ada toleransi (untuk tidak mengerjakan).
Sedangkan rukun Islam
yang lain seperti mengerjakan puasa masih ada toleransi, maksdunya seseorang
yang terkena ‘udzur (halangan) diperbolehkan untuk tidak mengerjakan puasa
tetapi tetap diwajibkan untuk menggantinya di lain waktu atau membayar fidyah,
begitu juga dengan menunaikan zakat dan ibadah haji, seseorang tidak diwajibkan
menunaikan zakat dan haji jika mereka tidak mampu seperti orang fakir atau miskin.
Tetapi menegakkan sholat hukumnya wajib bagi setiap muslim yang baligh dan
berakal. Bahkan dari wajibnya sholat tidak ada toleransi untuk tidak mengerjakan
sholat. Tidak bisa sholat berdiri maka diperbolehkan untuk sholat duduk, tidak bisa
sholat duduk maka diperbolehkan untuk sholat dalam posisi tidur(an) miring
seperti jenazah yang akan dikuburkan dan seterusnya. Dari sini maka dapat disimpulkan
bahwa yang paling esensi dalam Islam adalah syahadat dan sholat. Dalam pada itu
orang yang sudah mengucapkan dua kalimat syahadat dan menegakkan sholat (yakni esensi
dari Islam) maka dengan sendirinya mereka akan dipandang sebagai orang “Islam”
(yakni aksiden setelah mengerjakan apa yang esensi dalam Islam). Lalu bagaimana orang yang mengaku “Islam”
tetapi tidak mengerjakan apa yang esensi dalam Islam? Apakah mereka (bisa)
dikatakan orang Islam?
والله أعـــــلم بالـــــصواب
