MENCIUM TANGAN GURU
--Penggalan Memori 1971-1975 Bersama Prof Dr KH Ali Musthofa Ya'qub dan Gus
Dur--
Yang namanya santri tidak uniformatif, bermacam rupa adanya. Ada yang usil
dan gemar godain orang. Suatu ketika, ustadz Ali Musthofa menegur santri yang melontarkan
olok-olok kepada seseorang. Kemudian dimintanya kepada santri mendekat dan
mungucapkan kata maaf kepada seseorang yang menjadi obyek olok-olok itu. Mereka
patuh dan berbarengan turun dari lantai dua komplek serta mencium tangan dan
mengucapkan kata maaf kepada figur "yang disakiti" itu.
Siapa gerangan yang menjadi sasaran keusilan dan olok olok santri itu? Tak
lain, adalah Gus Dur (GD). Tentu, lantaran sebagian santri tak mengenali siapa
GD itu. Maklum, meski GD selaku sektetaris pesantren Tebuireng, namun sebagian
tak mengenalinya. Terlebih, GD tak bermukim di pesantren Tebuireng. Jadi,
pulang pergi alias PP Tebuireng-Denanyar setiap harinya.
Tahu, mengapa GD diusili santri? GD berpostur subur dan berkulit kuning,
sehingga tak ubahnya sosok beretnis Cina. Makanya, jika pagi hari GD memasuki
pesantren dengan mengendarai motor khasnya yang produk Italia, vespa Lambretta,
plus bertopi ala pelatih Jerman Barat Helmut Schoen. Tanpa dikomando, tanpa ada
yang menderigeni. "Tokeh, tokeh, tokeh", teriak santri bak koor. Ini
diulang ulang dan berkepanjangan.
Tentulah, ustadz Ali Musthofa yang tahu dari mana datangnya teriakan yang
bersautan itu secepat kilat mendekati. Diinterogasinya, diberitahu siapa GD itu
dan dimintanya satu persatu turun dan mencium tangan GD. Tak protes dan tak
menolak, mereka menyerbu mendatangi GD. Anehnya, justru GD tak menganggap para
santri itu bersalah, sehingga satu persatu diusapnya kepala santri satu persatu
oleh GD.
Ya, mencium tangan guru. Inilah simbol penghormatan, pemuliaan (yuwaqqir
kabirana) dan tatakrama. Ini adab, akhlak dan fatsun murid kepada guru, santri
kepada kiai dan yang muda kepada yang lebih tua. Ini tradisi dan kesantunan
yang mesti dijaga dan diuri uri. Bagian dari "irsyadu ustadzin", agar
peroleh arahan dan keberkahan guru.
Lho, kok digebuk dan dituding feodalisme, melanggar egalitarianisme dan
mengusir prinsip humanisme? Dalam hal apa cium tangan dianggap mengokohkan
feodalisme, mengangkangi egalitarianisme dan menebar anti humanisme ?
Namun perbincangan cium tangan murid kepada guru jangan serta merta
digulirkan menjadi diskusi di pusyaran syar'i. Meski, Anas ibn Malik pernah
menarasikan begitu indahnya ihwal sahabat kala berebut mencium tangan
rasulullah. Dan, "laisa minna man lam yarham shaghirana wa lam yuwaqqir
kabirana", sabda Nabi.
Tak mengherankan jika ustadz Ali Musthofa penyuka dan sekaligus penganjur
mencium tangan guru. "Tak terhitung saya mencium tangan Gus Dur",
ujarnya.
Walau jangan pula dibenturkan dengan rasionalisme dan humanisme sebagaimana
relasi antar manusia ala Barat. Lha wong itu tradisi, nilai luhur dan bermuatan
local wisdom. Kearifan beraroma perenilalisme atau post modernisme. Kendati
mengamalkan cium tangan kepada guru itu terasa nikmat dan berbarengan dengan
laku itu kesejukan mengaliri psikologi kita.
(Status Pak Cholidy Ibhar)