MUNAJAT
Ach. Dhofir Zuhry.
Kajian rutin malam selasa kitab AL-HIKAM Ibnu 'Atha-iLlah di Pesantren Luhur Kepanjen malam lalu pukul 20.00 WIB adalah salah satu munajat beliau yang berbunyi:
الهى كيف أخيب وانت املي ام كيف اهان وعليك متكلي
(Ilahi kayfa akhibu wa Anta amali am kayfa uhanu wa 'alayKa muttakili)
artinya kurang-lebih: "Tuhanku, bagaimana mungkin aku kecewa padaMu, padahal Engkaulah obsesiku. Tuhanku, bagaimana mungkin aku terhina sebab Engkau adalah Sandaran Vertikalku."
Munajat beliau bisa kita dapati relevansinya dalam keseharian kita. Misalnya, banyak di antara kita yg masih kecewa pada nasib—dan itu artinya kecewa pada Tuhan. Jika demikian, Tuhan akan semakin sulit kita "temukan" di tengah ketakpastian hidup ini, terutama di kota-kota yang bising dengan knalpot-knalpot kepalsuan. Bukankah kerap kali kita terombang-ambing antara harapan dan putus asa?
Di jantung kota-kota besar, di mana para imigran berjudi dan kaum urban berkerumun mengais nasib mereka, Tuhan semakin sulit ditemukan pada tiap jengkal kehidupan. Sehingga, menjadi kaum urban harus pandai-pandai mencari Tuhan. Lho, mengapa sulit mencari Tuhan di perkotaan, di pusaran ekonomi dan politik?
Sebenarnya, Tuhan ada di mana-mana dan di siapa-siapa, semau-mauNya, tak perlu apa dan bagaimana. Tuhan adalah pihak kedua ketika Anda sedang sendiri, menjadi pihak ketiga manakala Anda sedang berdua. Apabila Anda seorang pengkhotbah di gereja atau pura, maka Tuhanlah salah satu jemaat Anda. Dan, ini yang banyak politisi, para begundal dan gerombolan bromocorah Senayan tak percaya, setiap kali mereka rapat atau sidang menentukan, me-mark up, dan lalu menyunat anggaran, Tuhan juga sedang geleng-geleng sembari tersenyum di tengah-tengah mereka.
Sesekali, kalau Anda bosan karena terlalu sering piknik dan liburan ke luar sana, keluar jauh dari diri, tengoklah ke dalam diri Anda, masuklah ke relung paling dalam. Ada apa? Karunia paling berarti yang dihadiahkan Tuhan dalam hidup ini sesungguhnya bukalah berupa gelimang kekayaan, gemerlap jabatan, pesona wanita yang molek jelita, prestasi dan kemewahan hidup, akan tetapi kesempatan, yakni kesempatan menjadi manusia yang berakal sehat—untuk menginsyafi betapa kita manusia sering mengecewakan Tuhan, dan bukan sebaliknya, Tuhan mengecewakan hamba-Nya (وما ربك بظلام للعبيد). Bukankah banyak di antara kita yang masih binatang?
Namun demikian, yang mengkhawatirkan bukanlah apakah Tuhan ada di pihak kita, tapi apakah kita berada di pihak Tuhan. Apa sebab? Tuhan tidak pernah membangunkan para pemalas! Sehingga, akhir dari upaya terbaik manusia adalah awal dari campur tangan Tuhan.
Semoga kita semua mendapat barakah dan kearifan yang pernah dianugerahkan Tuhan pada Ibnu Atha-iLlah.