CITARASA PESANTREN
Oleh: Ach Dhofir Zuhry.
Saya termasuk jenis manusia yang jarang piknik dan berlibur, apa sebab? Bagi saya, hidup seluruhnya adalah liburan dan hiburan. Sehingga, mereka yang sibuk berlibur bahkan sampai ke luar negeri sesungguhnya karena jiwanya sepi dan tak sanggup menghibur diri dan mendaur ulang sampah-sampah di kepala dan dadanya. Lantas, mereka mencari hiburan di luar. Tetapi, alasan rasional ini kadang malah dianggap mengada-ada. Tak jarang, teman-teman malah menuduh saya pobhialiburan, padahal, hidup saya memang lebih banyak dijadwal oleh orang lain dari pada diri saya sendiri.
Kira-kira sejak tujuh tahun terakhir, saya nyaris tidak pernah berakhir pekan, kecuali pada momen-momen Lebaran, libur sekolah atau mungkin ketika sedang ada tugas nyantri dan ngaji di luar. Mengapa? Karena setiap sabtu dan minggu saya mengajar pagi sampai sore bahkan kadang malam. Secara keseluruhan, dalam satu pekan, saya mengajar sekian disiplin ilmu (filsafat, psikologi, teologi, perbandingan agama, tasawuf, tafsir, sejarah, yurisprudensi, gramatika, sastra, dll), di samping juga kajian-kajian rutin dari ibu-ibu, balita, hingga mahasiswa di Malang dan sekitarnya.
Tak hanya memberi kuliah atau ceramah, di sela-sela ngaji, saya juga bermusik, menulis dalam beberapa aspek dan topik. Namun demikian, satu hal yang pasti, dalam belajar-memgajar, saya tetap konsisten pada satu visi, yakni memanusiakan manusia. Pendek kata, saya memiliki kekhasan citarasa dalam petualangan intelektual dan terutama pendakian spiritual selama ini. Citarasa yang unik itu tentu saja—anugerah tak terperi dari Tuhan—dibentuk oleh keluarga dan lingkungan saya belajar: My Society is My University lingkunganku adalah tempat belajarku).
Tak jarang, saya memahami beberapa ayat Al-Qur'an lewat Injil, menghayati sufisme dan asketisme justru melalui ajaran Budha, menemukan jawaban dari kecamuk kegelisahan hidup melalui tradisi para Vedantis, mengurai benang kusut keindonesiaan dalam ajaran Lao Tzu dan atau Konfusius. Itulah mengapa saya menulis buku FILSAFAT TIMUR: Sebuah Petualangan Menuju Manusia Paripurna (2012). Akan tetapi, meskipun terjual sekian ribu eksemplar, setiap bedah buku, seminar, diskusi dan kelas-kelas pemikiran, saya merasa bahwa buku yang terlalu ilmiah, pesan dan muatannya jarang sampai kepada pembaca, terutama karena minat baca bangsa ini masih sangat rendah (untuk tidak mengatakan buruk).
Maka, teringat pesan Kiai dulu, bahwa tugas seorang ilmuwan dan intelektual adalah menyederhanakan segala persoalan, baik dalam mendidik dan melayani masyarakat, bukan malah sebaliknya, menyampaikan hal-hal sederhana dengan cara yang terlalu akademis dan muluk-muluk. Lantas, saya pun menulis buku-buku yang meski ilmiah, tetapi relatif lebih ringan untuk dicerna, misalnya: FILSAFAT UNTUK PEMALAS, KONDOM GERGAJI dan PERADABAN SARUNG. Dua judul terakhir tidak lama lagi akan beredar di Indonesia.
Yang saya syukuri adalah, Tuhan begitu Maha Pemurah karena memberi kesempatan saya untuk belajar di banyak tempat dengan komunitas yang berbeda-beda dan bahkan lintas agama dan kebudayaan. Saya belajar di sejumlah pesantren, perguruan tinggi, sekian sekolah, madrasah, surau, tempat kursus, kelompok diskusi, majlis taklim, sanggar, teater, kilatan dan nyantri kalong (tidak tinggal di Pesantren), bahkan hingga menjadi petualang dan sarjana kuburan (sarkub) di dalam dan luar negeri.
Di tempat-tempat penuh cahaya ilmu itu, berbekal doa ibu, saya belajar menghafal Kitab Suci, merapal doa-doa dan mantra, menyanyi, bersenandung, belajar membaca dan menulis, belajar berkomunikasi dalam beberapa bahasa: 1 bahasa Nasional, 3 bahasa daerah, 4 bahasa asing, saya belajar menyinta dan betul-betul jatuh cinta (sebagian besar pada perempuan dan lalu bertepuk sebelah tangan, Anda tahu, di Jakarta, biaya malam minggu jauh lebih besar dari pada biasa SPP kuliah 1 semester, sementara tidak ada subsidi dari orang tua). Praktis, masa muda saya adalah tenggelam dalam keringat untuk mencari makan dan bayar SPP, mengarungi buku-buku, melayari lautan makna, karena jelas tak ada biaya dan logika untuk hura-hura. Jadi, miskin itu baik, meskipun lebih sering menyedihkan.
Pada gilirannya, saya juga merasa perlu belajar mendialogkan ilmu dengan kehidupan, belajar lagi mendengar, mendengar yang bukan suara, menyimak kisah-kisah, mengendus mimpi-mimpi, mengunyah masa lalu, menalan jamu dan obat berupa caci-maki dan hujatan, belajar memuntahkan racun-racun kemajuan zaman, belajar diam, diam yang paling diam, sebab penyakit manusia (salah satunya karena terlalu banyak bicara), belajar memanusiakan manusia, belajar manjadi keranjang sampah, belajar mendaur ulang sampah dalam diri, belajar mengerti, belajar jernih, belajar berterima kasih, belajar sabar dan istiqomah, belajar berprinsip, belajar menanam dan menabung, belajar memberi dan membuang, belajar menipu agar tak tertipu, belajar manjadi kayu, batu, angin, air, belajar ada, belajar moksa, belajar tidak kencing di celana, belajar menghormati bendera, belajar menjadi rakyat, belajar menemani, belajar tidak aneh-aneh, belajar merenangi keringat, belajar melayari tetes demi tetes air mata, belajar ilmu tangan kosong, belajar menggali dan mengubur, belajar melaju, belajar melambat dan berhenti, belajar dari setan, belajar menjadi sungai, laut, muara, belajar bercahaya, belajar cara belajar, belajar mati sebelum mati, belajar mengakrabi realitas, belajar mengenal diri sendiri, belajar tidak lupa diri, belajar tidak kurang ajar, belajar sederhana, belajar... belajar...
Sejak kecil, saya belajar di dua sekolah sekaligus, yakni sekolah formal di pagi hari dan madrasah keagamaan yang berafiliasi dengan Pesantren di sore hari. Hal ini berlansung dari pendidikan dasar hingga saya belajar di perguruan tinggi. Bahkan, setelah berkeluarga dan pulang kampung pun saya tetap menjadi santri. Jadi, citarasa yang saya maksud adalah citarasa Pesantren yang telah sekian dekade membentuk saya, terutama karena sejak tujuh tahun belakangan saya juga mendirikan dan mengasuh pesantren mahasiswa.
Memang, tidak ada alumni santri, santri tetap santri sampai mati. Santri adalah identitas yang tak bisa dihapus meskipun Anda (misalnya) telah lulus dan boyong dari sebuah Pesantren. Jadi, jika Anda pernah nyantri dan lalu saat ini menjadi polisi, pedagang, guru, menteri, seniman, sastrawan, presiden, Anda adalah polisi yang santri, seniman yang santri, presiden yang santri, dll.
Maka, "santri" adalah jawaban dari segala kegilaan intelektual dan kegelisahan eksistensial saya selama ini. Kecamuk-kecamuk tanya: Aku ini siapa? Apakah kedirian itu? Apakah diri adalah aku yang paling aku? Apakah diri adalah sesuatu yang terus mengambang antara transendensi dan imanensi? Hidup ini mau bagaimana? Bukankah status ibadah itu juga makhluk yang tidak perlu kita sembah-sembah dan kita banggakan? Apakah metafisika itu penting? apakah Tuhan itu personal atau impersonal? Jika hidup di dunia ini kita berada dalam genggaman Tuhan, kemanakah setelah mati? Mengapa Tuhan dan pencerahan kerap hadir dengan cara-cara yang tidak kita sukai?
Tetiba saya teringat: Rabbi zidni 'ilma (Tuhan, tingkatkan intelektualitas saya). Inilah doa Nabi yang diabadikan Kitab Suci dan belakangan manjadi logo dan motto Pesantren Luhur Baitul Hikmah Kepanjen-Malang. Ya, manusia telah dirancang oleh Sang Maha Perancang untuk terus menghasrati pengetahuan, cenderung pada kebaikan dan berpihak pada kebenaran, hingga tersungkur kita di hadapan Kebenaran Sejati.
Lamat-lamat, citarasa santri dan Pesantren itu lantas mendarah-daging, menubuh dalam saya, mewaktu melintasi segala yang fana, terus menyejarah pada setiap fase peralihan masa. Oleh karena itu, selama saya menghasrati ilmu, selama itu pula saya tetap santri, ngaji dan sarungan.
Dalam hemat saya (yang tidak terlalu hemat), Pesantren adalah matahari dalam sistem tata surya kehidupan dan keindonesiaan. Bahwa dalam jagad galaksi kehidupan yang lebih luas ini masih terdapat banyak sekali matahari-matahari yang lain, hal itu tidak membuat matahari bernama Pesantren itu manjadi redup dan padam. (Bersambung)
Salam Takzim,
Tulisan ini adalah salah satu sub-judul dalam buku terbaru saya "PERADABAN SARUNG" yang insya Allah segera terbit. Mohon doa.