APA ADANYA
oleh: Ahmad Yani
Tapi aku yakin bahwa " Cinta
yang besar sejatinya tidak pernah mengajarkan untuk mencintai sebesar itu"
demikian tambahan seseorang yang banyak memberikan sumbangsih pengetahuan pada
saya waktu itu, bahkan setiap bertemu. Hampir setiap waktu nadi berdetak,
perkataan dan perbuatan menjadi pengetahuan yang bisa dikunyah oleh akal serta
menjadi pelajaran. Yang pada saat berpapasan dengan kutipan hadist Nabi:
من عشق فعف فكتم فمات فهو شهيد
"Siapa yang mencinta,
kemudian merahasiakan, menyembunyikan cinta, kemudian ia mati, maka syahidlah
ia dengan kematiaannya"
Memperbincangkan cinta bagi
pencinta merupakan nuansa yang tak kalah penting bagi kehidupan. Jika
diumpamakan, hampir seperti selimut yang selalu diharapkan dingin diwaktu
petang, atau makanan yang sangat diperlukan saat perut terjangkiti lapar. Maka
cinta dan kehidupan, ataupun kehidupan dalam percintaan menjadi kebutuhan
tersendiri.
Namun, cinta juga sulit untuk
dijelaskan dengan berbagai realitas yang dirasakan. Hampir sebagian orang
menyatakan cinta tanpa keadilan, penyebab adanya kesedihan, tak ada harapan
kebahagiaan. Bahkan ekspresi kematian juga bagian dari gagalnya percintaan atau
justru sebaliknya bagi mereka yang sukses membangun menara cintanya. Sehingga
cukup rumit membahasakan cinta secara
komprehensif jika pengalaman cinta dijadikan bahan pengalaman subjektif
sebagai bukti kongkrit dan terkesan terlalu egois. Pernyataan yang tidak
seimbang jika barometer cinta diasumsikan semaunya seperti demikian, yang pada
akhirnya, cinta tak mendapati ruang sebagaimana mestinya.
Dengan demikian cinta perlu
diperjuangkan agar tak ada kata penistaan cinta sebagaimana penistaan agama.
Dimana oknum-oknum tak bertanggung jawab menggunakan pewangi untuk menutupi
akal busuknya. Karena dengan kesucian dan kemurnian yang dimiliki cinta atau
agama, menjadikan segala sesuatu akan nampak seperti kebaikan dan kesucian.
Keburukan, kebobrokan ditabiri dengan berbagai hal kebaikan agar nampak suci
dan penuh wewangian.
Pertanyaannya, masih adilkah sebilah
tanya terlontar pada kehidupan jika pada persoalan cinta saja tolak ukurnya
adalah diri sendiri? Sementara kehidupan, ruangnya jauh lebih luas dari pada
cinta? Orang lain harus ikut perut kita? Baju yang tak sama dengan kita halal
darahnya? Dimanakah cinta itu berlabuh kemudian? Mari difikirkan
***
Dalam bahasa psikologi adalah
Titik kulminasi namanya, atau dalam bahasa sederhananya sampai pada titik
kejenuhan. Dimana rasa malas, tak bersemangat untuk melanjutkan, ada hal lain
selain ini dan itu. Tipikal yang seperti demikian sulit ditepis. Model yang hampir atau bahkan mendekati
kodrati terbawa pada kehidupan dimana keputusan menyulitkan antara melanjutkan
dan bertahan, atau pindah arah dan lain harapan sehingga menimbulkan
harapan-harapan tak berkesudahan.
Jenuh adalah semangat yang rapuh.
Mulanya berapi-api, ditengah perjalanan padam arah hilang tujuan. Boleh jadi
penataan niat yang gagal sehingga menjadikan kokoh tujuan terpatahkan. Tempat
tidur saja menjenuhkan jika berlarut-larut arahnya hanya Utara dan Selatan,
pada suatu waktu upaya mengubah juga bagian dari keinginan.
Lagi-lagi jenuh menjadi perlu
dengan alasan hidup itu tidak berada di posisi stagnan. Bahwa kehidupan adalah
perubahan, membaharu dan menjelang. Jika diam berarti tertinggal, jika
merindukan perubahan tidak sabar, tak dapat dipungkiri keputusan menjadi jalan
untuk dipikirkan. Sepertinya kita dipaksa menunggu beberapa purnama dan kopi
hangat untuk lebih jauh belajar pada alam yang banyak mengajarkan tentang
kehidupan.
Perlu keseriusan penuh untuk
memilih keputusan agar rencana harapan menjadi meyakinkan. Bahwa hidup
mempunyai tujuan, perlu pula menguji kualitas kekuatan tujuan. Dengan mimpi tak
berbantal, mata terbuka, layaknya Edwin land dan kamera polaroidnya, Pablo
Picasso dan mimpi senimannya dalam merengkuh masa depan. Mereka hanya modal
prinsip "hidup terus bergulir", artinya "kesuksesan tidak pernah menyelingkuhi prosesnya"
sebagaimana dinyatakan oleh kyai muda Ach Dhofir Zuhry, juga faylasuf Indonesia
yang karismatik.
Strategi bagaimana dan darimana
mendapatkan impian kemudian mendapati ruangnya untuk dipikirkan. Agar harapan
tak lagi hampa dengan berbagai dorongan hasrat, yang keraguan sama sekali tak
lagi menjadi penghalang. Keyakinan itu hidup dengan pemahaman, bukan bagaimana
dan bagaimana yang kita sebut ragu-ragu dengan berbagai keputusan.
****
Cinta semestinya ala kadarnya,
karena kemungkinan-kemungkinan kebencian bisa tiba-tiba datang tanpa diundang.
Walaupun cinta tak layak rasanya dipertentangkan dengan kebencian. Karena cinta
mengenal satu hal bahwa mencintai sama dengan menundukkan hati pada sesuatu
yang ia cendrungi.
Ada banyak alasan bagaimana
mencintai. Bisa jadi ada aspek kesesuaian dalam beberapa hal yang bisa dirinci
hingga tak ada alasan untuk tidak mencintai. Namun, mencintai tetap tanpa karna
dan alasan, jika dengan kelebihan dan kekurangan menjadikan gelombang cinta tak
berkurang.
Mencintai dalam keadaan kelebihan
atau dalam keadaan kekurangan tetap sama saja. Kelebihan adalah alasan
mempertahankan, kekurangan adalah alasan memperbaiki. Jika begitu, mencintai
tanpa alasan dan ber-alasan, sama saja, "mencintai apa adanya"
#270217