TUHAN JUGA CEMBURU
“… Allah sekali-kali tidak
menjadikan dua buah hati
dalam rongga dada seseorang…”
(QS: Al-Ahzab, 33: 04)
Adakah di antara kita
yang tidak pernah cemburu?, bisakah kita menghindar darinya?, apakah cemburu
memang memiliki keselarasan diametral dengan segala bentuk aksentuasi hidup
kita? Dan yang lebih penting, sanggupkah kita menjadikan kecemburuan itu
sebagai sebuah kekuatan “lain” bagi kita?
Dunia, alam raya tempat
segala kepalsuan hidup yang paling genit ini memang akan terus memuai (expanding
universe) yang tentu saja akan diikuti oleh perkembangan dan perluasan
nilai (expanding values) dalam segala aspek kehidupan, begitu juga
dengan cemburu dan kecemburuan. Diapresiasi dari disiplin ilmu mana pun,
cemburu memang sama tuanya dengan usia sejarah umat manusia, terhitung sejak
penduduk bumi baru berjumlah enam orang (Adam As, Hawa, Qabil, Habil dan kedua
orang saudara perempuannya), cemburu memang telah ada dan berbuntut peristiwa
pembunuhan untuk pertama kalinya, bahkan, konon Adam As “terusir” dari surga
lantaran kecemburuan Iblis.
Cemburu tidak hanya
berlaku bagi manusia, perikemanusiaan, kebinatangan dan peri-peri yang lain
mungkin tidak akan pernah terselenggara dengan sempurna secara dinamis dan
dialektis tanpa adanya cemburu. Cemburu atau juga kecemburuan—selain banyak
digunakan dalam literatur cinta, juga dalam sistem sosial kemasyarakatan,
pendidikan, ekonomi, politik dan konstelasi kebudayaan kita—adalah sebuah
situasi di mana kemesraan, harmoni dan nilai tertinggi dari kesetiaan
dicederai, dilukai atau paling tidak dibatasi dan dikagetkan oleh sebuah
hentakan sikap yang tentu saja menjadi beban di pundak psikologis siapa pun.
Perlahan, secara diam-diam (diakui atau tidak) kecemburuan menuntut yang
bersangkutan untuk melakukan “sesuatu” atau setidaknya katarsis2).
Maka (logika pendeknya), yang menjadi penyebab terjadinya pelampiasan emosi itu
adalah mengendapnya rasa cemburu dalam batin manusia.
Memang pada prinsipnya,
cemburu, sesederhana apa pun motif dan geraknya tentulah menjadi tetes-tetes
racun dalam diri seseorang (atau juga lembaga) yang lambat-laun akan mengikis
kesadaran dan balancing power dalam diri. Namun demikian, cemburu tidak
harus melulu terlahir dari rasa cinta, tapi juga dapat terlahir dari perasaan
benci atau juga pola hidup yang selalu dibingkai oleh kebencian terhadap
sesama. Bagi seseorang yang di tanah prsikologisnya hanya ditanami benih-benih
kebencian, pasti akan memandang hidup dengan cara yang pesimis, naif dan
kontra-produktif dengan selalu mencari-cari kesalahan orang lain. Padahal
sejatinya mencari-cari “kesalahan” orang lain, berarti menutupi “kesalehan”
dirinya sendiri, dan itu juga berarti menutup akses-akses kesalehan sosialnya.
Itulah kenapa dalam konstelasi kebudayaan, iri terhadap perbuatan baik atau
punya budaya malu bukanlah cemburu, tapi kecenderungan untuk maju. Pernah suatu
ketika dalam sebuah perbincangan ketika seorang kawan menceritakan mobil mewah
terbarunya yang made in Jepang, saya justru terperangah, kenapa hanya
produk-produk otomotif Jepang yang kita impor?, kenapa bukan budaya malu dan
etos kerja “Samurai” mereka yang kita datangkan ke negeri ini?
Cemburu merupakan sebuah
unsur destruktif yang memasuki—dan meracuni secara sepihak dan
personal—perangkat psikologis dalam diri manusia, itu artinya kecemburuan
tidaklah statis dan beku, sehingga tentu saja memiliki nilai, relativitas dan
probabilitas. Kenapa demikian? Sebab ketika tirai kecemburuan itu dibuka, maka
yang tampak dan tebentang adalah jazirah cinta yang mahaluas. Sehingga dalam
tutur bahasa sehari-hari sering kita dengarkan bahwa cemburu berarti cinta,
sekalipun dalam tatanan kehidupan masyarakat luas—cemburu sosial, misalnya
lebih diartikan sebagai sikap iri terhadap orang, kelompok atau sebuah pranata
dan tatanan. Dengan lain kata (contoh kasus), ketika A tidak mendapati dirinya
seperti B dalam prestasi, prestise, reputasi dan strata sosial, maka ia akan
cemburu, ketika X tidak mendapatkan popularitas, pengakuan publik—yang dengan
meminjam istilah Maslow, self esteem—seperti yang dirasakan Y, kontan ia
juga cemburu. Sederhananya begini, kecemburuan pada mulanya adalah tidak
menentunya suasana hati dalam mengambil (determinasi) sikap atas
realitas-realitas yang membentang di hadapan kita, hal ini boleh jadi
disebabkan oleh dibatasinya “fungsi” dan “penjangkaran nilai” dari diri kita
terhadap yang lain, sehingga yang ada hanya suasana inhibisi (inhibition),
yakni ketika pengaruh, fungsi dan peran sosial kita (dalam prosesnya) dihalangi
dan atau dibatasi oleh fungsi yang lain, maka spontanitas akal sehat pun sirna
sebab kendalinya telah digantikan oleh emosi. Begitulah kecemburuan terjadi,
mengembang dan berkuasa atas diri manusia.
Nah, bagaimana dengan Tuhan?
Apakah rasa cemburu dalam diri kita ini memang sudah dipasang sebagai software
oleh Tuhan?, atau mungkin cemburu sekedar produk kebudayaan?
Manusia, karena memang
merupakan transparansi dari Tuhan yang paling riil, puncak tertinggi dari
seluruh ciptaan Tuhan, tentu saja mewarisi sifat-sifat yang seharusnya hanya
pantas disandang oleh Tuhan sendiri, misalnya; ingin dipuji, dihargai dan
diakui. Sehingga, ketika pujian, penghargaan dan pengakuan itu telah ia
dapatkan, maka sifat Tuhan yang lain (kesombongan), diambil dan diakuisisinya
pula. Sebenarnya perasaan ingin dipuji dan dihargai sangat wajar dan normal,
dengan catatan, perasaan itu tidak terlalu dilebih-lebihkan dan ditonjolkan
atau bahkan divisualisir ke dalam setiap prilaku dan sikap sosial dalam ruang
publik. Semua harus diletakkan pada proporsinya yang paling seimbang, begitulah
Kitab Suci mengajarkan. Namun, di samping fithri manusia juga dha’if,
sehingga dambaan atau desakan untuk dihargai dan dipuji itu begitu kuat
mengakar dalam batin kita, sekalipun hal itu tidak kita sadari. Itulah kenapa
William James (1842-1910)3) menyatakan bahwa; “prinsip
terdalam dalam sifat primordial manusia adalah keinginan atau idaman untuk
dihargai”. Celakanya, perasaan ingin dihargai itu memiliki hukumnya sendiri
yang bernama “cemburu”, sehingga penghargaan4) tidak pernah kita
berikan kepada yang lain. Apabila kita hanya menuntut untuk dihargai dan
“dimenaragadingkan” tanpa pernah berkenan memberikan penghargaan yang layak
kepada yang lain, di sanalah benturan yang melonjak menjadi konflik dan bencana
akan segera dimulai, implikasinya keseimbangan dan harmoni tidak akan pernah
tercipta dalam sistem kemasyarakatan dan kebudayaan kita. Demikianlah, jika
“sesuatu” yang inner dalam kepala dan dada kita tidak menemukan titik
simpul integrasinya lantaran cenderung menuruti “kecemburuan kerdil” itu,
ketidaktertataan dan beragam benturan adalah satu-satunya keniscayaan yang
tersisa dan akan terus mengancam, menikam dan membunuh substansi (jauhar) kita
sesama manusia bersama dengan alam sebagai sebuah entitas tunggal. Bagaimana
mengatasinya?
Pertama-tama, kecemburuan
harus kita posisikan sebagai sesuatu yang “mungkin”, mungkin untuk diatasi,
dinetralkan dan lantas diposisikan pada batas-batas kewajarannya. Kita tahu
bahwa dalam diri manusia terdapat dua unsur, dua kekuatan mahadahsyat bernama
arus jahat (necrophilia) dan arus baik atau daya untuk hidup dan memberi
kehidupan (biophilia). Dan kita, sebagai manusia sejati tentu harus
memilih satu di antara keduanya. Lantas, bagaimana meletakkan kecemburuan itu
ke dalam aquarium biophilia?, bagaimana menjadikan rasa cemburu itu
sebagai sesuatu yang positif?, bagaimana menjadikan kecemburuan itu justru
sebagai semangat?
Jawaban paling sederhana
dan kampungan adalah berpikir tentang hasil (outcome thinking), artinya
ketika kita merasa cemburu, tanyakan pada diri kita; apa yang dapat saya
hasilkan dari cemburu?, apa untungnya kalau saya cemburu? Perlu digarisbawahi
bahwa “keuntungan” adalah posisi yang paling adil antara kita dengan yang
lain—keadilan pola pikir dan pola sikap, tentu saja kalau cemburu itu diimbangi
dengan rasa malu.
Sejatinya sisi negatif
dari kecemburuan bisa kita umpamakan sebagai virus yang tidak mungkin bisa
dibunuh atau dimatikan begitu saja, sehingga cara yang paling efisien adalah
dilumpuhkan, caraanya? Di sini, kata kuncinya adalah “kendali”, ya,
pengendalian diri adalah “kartu As” untuk melumpuhkan kecemburuan itu,
determinasi jiwa dan kearifan sikap adalah harga mati bagi kecemburuan yang
sempit dan gigantis itu. Dengan demikian, rasa cemburu akan selalu menemukan
titik positifnya, sebab jika tidak orang yang mengalami kecemburuan (negatif)
akan terus terpuruk dalam suasana hati yang defisit dan merugikan. Apalagi
manakala kita tarik pada sesuatu yang paling asasi dan prinsipil dalam diri
manusia, agama misalnya. Agama tentu saja melarang manusia untuk cemburu (buta)
terhadap yang lain wa bil-khusus dalam urusan dunia, apa sebab? Pada
umumnya seorang pencemburu adalah orang yang tidak berprinsip, bersabar dan
bersyukur menjalani hidup. Pendeknya, cemburu akan membunuh nalar-nalar sehat
dan kecenderungan progresif dalam diri manusia, sehingga kalau term itu dibalik
akan berbunyi begini; cemburu yang wajar adalah cemburu yang terus belajar
untuk mengkooptasi nilai moral, mengupayakan keikhlasan idealisme dan meminimalisir
keinginan-keinginan temporal. Barangkali inilah alasan kuat kenapa Tuhan hanya
menciptakan satu hati dalam rongga dada manusia. Kenapa? Karena Tuhan juga
punya rasa cemburu, lagi pula mendua-hati dan menyekutukan Tuhan (syirik)
adalah prilaku orang-orang munafik, sehingga syirik adalah dosa besar
yang “tidak terampuni”. Namun simplifikasinya, dengan cemburu itulah Tuhan
secara total mencintai kita; sebagai manusia dan yang mampu menjadi manusia
seutuhnya. Wallahu a’lam.
***
Catatan Kaki
1 Pengasuh
Pesantren Luhur Baitul Hikmah
2 Catharsis (Ing.)
arti sebenarnya pembersihan atau upaya membersihkan, namun istilah ini dalam
tutur bahasa atau literatur psikologi berarti pelampiasan atau pelepasan emosi
sehingga yang bersangkutan akan merasa lega. Bdk. Misalnya; Dr. Kees Bertens, Memperkenalkan
Psikoanalisa Sigmund Freud, Gramedia Jakarta, 1982.
3 Adalah filsuf dan psikolog abad 20 yang
terkenal dengan “pragmatisme”nya. Benar, kita tidak pernah menyadari perasaan
ingin dihargai itu lantaran “kesadaran” tidak pernah kita anggap sebagai sebuah
“fungsi” dalam diri kita. Lebih jauh James mengemukakan bahwa gejala-gejala
keagamaan juga berasal dari kebutuhan-kebutuhan perorangan yang tidak disadari.
Lih. DR. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah filsafat barat 2, Kanisius:
1991. hlm. 131-133.
4 Dalam Islam juga berarti shalawat
untuk Nabi, penghormatan dan sikap ta’zhim.