“Kita
adalah orang Indonesia yang
beragama Islam, bukan (hanya) orang
Islam yang tinggal di Indonesia”
-Gus Dur
Islam adalah
pedoman hidup bagi seluruh umat manusia. Islam datang dari Tuhan melalui
utusannya, Nabi Muhammad Saw. Islam, mula-mula hadir untuk mengislamkan bangsa
Arab, namun kemudian—idealnya—ia menjadi petunjuk dan rahmat bagi semesta raya:
Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, bukan hanya rahmatan lil muslimin!
Karenanya, universalitas Islam tak lagi perlu dipertanyakan, sebab ia bukan
monopoli suatu suku, daerah, bangsa atau negara tertentu saja.
Dalam pada
itu, Islam berikut ajaran kebaikan universalnya tidak lahir pada semesta yang
hampa, kelahirannya dibidani oleh Nabi Saw. dalam budaya, kondisi, lingkup
masyarakat, yang secara teritorial berada di Arab. Karenanya proses pertalian
antara ajaran Islam dan budaya Arab tak mungkin dihindari. Hanya saja, yang
perlu digarisbawahi adalah meskipun Nabi Saw. adalah orang Arab dan kitab
al-Quran kita berbahasa Arab, tidak berarti setiap yang berbau arab itu sakral,
suci dan pasti positif. Karenanya, proses seleksi ajaran Islam yang bersifat
substansial dan aksidental perlu ditekankan, sehingga kita bisa membedakan
antara hal yang bersifat Islami dan (atau) Arabisasi.
Islam Nusantara: Islam Kita
Nomenklatur
(penamaan) dan gagasan tentang Islam Nusantara mungkin terkesan sebagai hal
baru dalam wacana kita. Terhitung sejak 2012 lalu, wacana ini mulia ramai
diperbincangkan media, terutama pasca dibukanya Pascasarjana Kajian Islam
Nusantara di UNU Jakarta. Meskipun gagasan ini lahir dari NU, dengan Prof. Dr.
KH. Said Aqil Siraj sebagai penggagasnya, namun spirit dan perjuangan Islam
Nusantara dipersembahkan untuk peradaban Indonesia, khususnya, dan dunia, sebagai
objek yang lebih universal.
Ide Islam
Nusantara sendiri sebenarnya begitu bersahaja. Bertolak dari ajaran Ahlussunnah
wal Jama’ah sebagai manhajul hayah wal fikr (kurikulum hidup dan metode
berpikir), dengan basis pada sikap mulia berupa tawassuth (moderat), tawazun
(seimbang), tasamuh (toleran) dan i’tidal (berpihak pada
kebenaran). Maka dari dasar pemikiran tersebut, Islam Nusantara diharapkan senantiasa
bisa bersinergi dengan realitas dan fakta sosial yang selalu mengerut dan
berdenyut dalam lipatan waktu pada tiap episode kehidupan. Dan dalam konteks yang
lebih luas, agar Islam kita dikenal—meminjam istilah majalah internasional Newsweek—sebagai
“Islam with a smiling face.”
Konsekuensi
logis lain dari dasar pemikiran di atas adalah penghargaan terhadap
local
wisdom atau tradisi yang ada. Sebagaimana Nabi Saw. begitu cinta terhadap
bangsanya, maka tentu menjadi keharusan untuk kita mencintai bangsa dan negara
kita. Islam Nusantara mengerti dan
mengajarkan yang demikian, bahkan hal ini ditunjukkan dengan penamaan “Islam
Nusantara” itu sendiri, kita tidak menyebutnya sebagai “Islam Indonesia.”
Secara historis, nama Indonesia pertama kali digunakan oleh James Richardson
Logan (w. 1869) dalam kumpulan karangannya yang berjudul
The Indian
Archipelago. Kemudian nama ini dipopulerkan oleh Prof. Adolf Bastian (w.
1905) dengan sebuah bukunya:
Indonesian oder die Inseln des Malayachen
Archipelago. Namun berbeda dengan kata “Nusantara”
yang sudah dikenal sejak
abad ke 14 M, oleh Mpu Prapanca (w. 1365). Selain kata ini lebih tua, ia juga
memiliki nuansa budaya yang lebih kental, bahkan, seperti disebut oleh para
sejarawan, konsepsi Pancasila telah termaktub dalam kitab tersebut—secara
tersirat. Inilah penghargaan Islam Nusantara terhadap budaya dan tradisi.
Mengutip
pendapat Gus Dur, “inti dari pribumisasi (menghadirkan Islam dengan
menghargai tradisi yang ada) adalah kebutuhan, bukan menghindari polarisasi
antara agama dan budaya, sebab polarisasi demikian memang tak terhindarkan.”
Sebab itu titik tolak dari upaya menghargai budaya yang ada alah agar wahyu
dipahami dengan mempertimbangkan konteks, termasuk kesadaran hukum dan rasa
keadilan. Jadi, dalam prosesnya, pembauran antara Islam dan agama tetap tidak
boleh terjadi, sebab berbaur berarti hilangnya sifat-sifat asli. Islam harus
tetap pada sifat islaminya. Al-Quran dengan bahasa Arab, terutama dalam shalat,
sebab hal ini merupakan norma. Sedang terjemah al-Quran dimaksudkan untuk
mempermudah pemahaman, bukan menggantikannya. Maka dari itu, lagi-lagi kita
harus membekali pemahaman diri kita dengan alat deteksi sesuatu yang substansi
dalam agama atau hal-hal yang bersifat aksidental semata.
Daftar
Pustaka
Abdurrahman Wahid
(ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia,
(Jakarta: The Wahid Institute, 2009)
M. Ishom Yusqi (dkk.), Islam Nusantara: Meluruskan
Kesalahpahaman, (Jakarta: LP. Ma’arif NU Pusat, 2015)
Sholihin Salam, Bung
Karno Putra Sang Fajar, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1982)