oleh: Ahmad Hamzah Muria.
Ridha secara etimologi (bahasa) berarti rela, menerima, menyetujui, dan puas. Sedangkan menurut terminology (istilah) ridha sebagaimana tersebut dalam kitab Minhaj al-Abidin karangan Imam Abu Hamid al-Ghazali, ialah “tark as-sukhthi” (tidak mengeluh atas apa yang ditentukan oleh Tuhan), dan mengeluh adalah beranggapan terhadap apa yang tidak ditakdirkan Tuhan, lebih baik dari pada yang telah ditentukan.
Dalam konteks ini ridha berkaitan erat dengan takdir Tuhan, dalam hal baik maupun buruk, karena memang itu pilihan yang terbaik dari Tuhan. Dan apapun yang telah digariskan Tuhan tentunya akan berdampak baik bagi mahluknya.
Berdasarkan hal itu, dengan sikap rela atas takdir yang diterimanya, mula-mula ridha dijadikan sebagai modal utama dalam menjalani hidup. Apa sebab? Karena segala kenyataan, baik yang telah atau sedang terjadi bahkan belum terjadi, berada dalam kuasaNya. Hanya saja di setiap apa yang telah terjadi seseorang bisa menduga-duga apa yang akan terjadi setelahnya.
Karena memang tak jarang terjadi kekecewaan dan keluhan hadir dalam diri seorang, atas ketidaksiapan akan takdir yang diterima. Maka dari itu, setuju atau tidak untuk mengatasi segala kemungkinan dan ketidaktahuan atas kejadian selanjutnya meridhai adalah cara yang paling sederhana untuk menjadikan hidup lebih sederhana. Sebab, yakin akan hal dibalik semua itu pasti ada hikmahnya.
Lebih lanjut, mengenai masalah ridha Imam al-Ghazali menjelaskan dalam kitabnya ada dua macam.
Pertama, ridha pada kebaikan, berarti ridha pada Tuhan dan ridha pada ketentuan (qadha) serta ridha pada objek yang ditentukannya. Misalnya; kita ditakdirkan sebagai orang beriman. Mula-mula kita harus ridha bahwa iman adalah Tuhan yang menciptakan. Setelah itu, otomatis kita akan meridhai ketentuan Tuhan akan iman. Terakhir, kita akan meridhai bahwa objek yang ditentukan untuk menjadi iman adalah kita.
Kedua, ridha pada keburukan, yang berarti ridha pada Tuhan dan ridha pada ketentuannya serta tidak pada objeknya. Misalnya; orang yang terlibat skandal (keburukan) . Pertama ridho bahwa Tuhan menciptakan skadal. Bersamaan dengan itu akan meridhai ketentuan akan skandal dan tidak ridha pada objeknya . Karena ridha pada ketentuannya bukan berarti ridha pada objeknya.
Untuk itu, karena hidup ini adalah jurang yang penuh misteri dan segala peristiwa yang terjadi atas ketentuanNya, namun bukan alasan untuk kita merasa putus asa. Sebab, ridha mengajarkan pada kita untuk bertindak sederhana agar tidak terlalu mengeluh dan berharap yang pada ahirnya harus kecewa.
Berhentilah berkhayal sesuatu yang tidak bisa kita usahakan, jangan terlalu jauh, meminta saja yang terbaik kepada Tuhan. Biarlah Tuhan jadikan kita seperti apa dan bagaimana karena memang itulah yang seharusnya. Selagi Tuhan meridhoi niscaya segalanya adalah baik. Tetapi, jika tidak terima, lalu, kita bisa apa? Toh itu semua terjadi bukan kuasa kita.
Relakanlah...