KRISTUS TANPA NAMA
"Apa pun yang Anda ingin orang lain lakukan untuk Anda, lakukanlah hal itu untuk mereka—itulah hukum Tuhan dan ajaran para Nabi."
(Matius 7:12, Lukas 6:31)
Kelihatannya, firman Tuhan dalam Injil Matius dan Lukas tersebut sangat akrab kita dengar dari berbagai Kitab Suci agama-agama, terutama Islam, Konghucu dan Budha. Ajaran sang Juru Selamat itu begitu aktual sehinga seolah-olah Yesus bertutur hari ini, dalam konteks zaman ini, bukan lebih dari dua milenium silam. Apa yang kita perlu cermati dan garisbawahi adalah bahwa agama memiliki ajaran cinta-kasih universal. Bagaimana pernyataan ini bisa diuji kebenarannya?
Pola sikap adalah cermin dari pola pikir. Oleh karenanya, cara pandang seseorang terhadap agama dan teologinya akan berpengaruh terhadap prilaku kesehariannya, baik dalam beragama maupun bernegara. Jika pandangan keagamaan seseorang cenderung eksklusif (sumbu pendek), maka ia akan cenderung mengkafirkan dan memvonis neraka kepada apa dan siapa pun di luar diri dan kelompoknya. Sebaliknya, jika kacamata seseorang inklusif, ia akan menerima segala perbedaan sebagai satu kemesraan dan keindahan.
Gereja menyadari bahwa perbedaan adalah satu keniscayaan. Maka, segala bentuk penyeragaman hanya akan menciderai sesama dan menoreh luka pada umat manusia. Cepat atau sangat cepat, sikap tertutup akan tergilas oleh waktu. Pandangan paling ekspresif dari keterbukaan (eksklusivitas) Gereja nyata terlihat dalam dokumen Konsili Vatikan II mengenai "Deklarasi tentang Hubungan Gereja dan Agama-agama non-Kristen" (Nostra Aet-ate) yang mempengaruhi seluruh komunitas Katholik—paling tidak—sejak 1965 hingga kini.
Kelak, teolog Katholik terbesar abad 20, Karl Rahner (1904-1984) dalam bukunya, Theological Investigations setebal 20 jilid membahas dengan bernas bagaimana nasib (di akhirat) orang-orang yang hidup sebelum karya penyelamatan Yesus hadir, atau umat manusia yang hidup setelahnya akan tetapi belum pernah tersentuh Injil?
Karl Rahner membuat Gereja merevisi pandangannya perihal extra ecclesiam nulla salus (di luar Gereja, tidak ada keselamatan) dan extra ecclesiam nullus propheta (di luar Gereja, tidak ada Nabi) yang pernah dikukuhkan dalam konsili (muktamar) Florence 1442.
Dalam pandangan Rahner, sangat mungkin menemukan karunia Yesus dari semua agama tanpa harus menjadi Kristen terlebih dahulu. Inilah yang kemudian disebutnya sebagai Kristen tak Bernama (anonymous Christian). Bagi Rahner, umat Kristiani bukan hanya bisa, tetapi bahkan harus menganggap agama-agama non-Kristen sebagai "sah" dan merupakan "jalan keselamatan" karena Allah memang menganugerahkan cinta-kasihNya secara universal. Benar, bahwa keselamatan ada dalam Yesus Kristus, namun Gereja tidak boleh mengutuk agama lain sebagai palsu dan tidak mempunyai keselamatan.
Meskipun tak sesempurna otoritas Gereja, keselamatan melalui Kristus pun ada dalam semua agama tanpa menggunakan nama Kristus, Rahner menggunakan istilah Kristus tak Bernama (Anonymous Christ). Itu artinya, Yesus tetap menjadi norma di mana kebenaran dan keselamatan berada dan sangat mungkin diperoleh bahkan di luar agama Kristen secara formal. Sehingga, umat agama lain tidak harus secara eksplisit menjadi Kristiani untuk sampai pada kebenaran dan memperoleh keselamatan.
Berdasarkan pandangan itu, penganut agama-agama di luar Kristen bisa lebih kristiani dari pada yang beragama Kristen secara legal formal, tak menutup kemungkinan, secara moral, yang di luar Gereja bisa lebih saleh dari pada yang di dalam Gereja, karena boleh jadi, berlama-lama di Gereja dan tempat ibadah lainnya, justru hanya "pelarian spiritual" karena enggan terlibat dalam kehidupan sosial.
Simpulannya adalah, keselamatan universal, secara ontologis berdasarkan tindakan kreatif Allah dan secara historis dihadirkan dalam peristiwa Yesus. Pada akhirnya, kristosentrisme mengarah pada teosentrisme, yakni mengalihkan perhatian dari "keunikan" Yesus menuju "universalitas" Allah.
Saran terbaiknya adalah: sebelum Anda belajar tentang Tuhan dan agama, terlebih dahulu belajarlah tentang manusia dan kemanusiaan, agar kelak ketika Anda membela Tuhan dan agama, Anda tidak lupa bahwa Anda manusia. Anda bukan Tuhan yang punya otoritas benar-salah. Tak perlu menyalahkan orang lain, biarkan mereka riang gembira dengan warna mereka masing-masing. Inilah konsep memanusiakan manusia.
Selamat Merayakan Natal dan tahun baru 2018 untuk saudaraku umat Kristiani di seluruh dunia, semoga kelahiran dan keluhuran Yesus akan menginspirasi seluruh anak bangsa ini untuk lebih damai, bangkit, maju dan berjaya. Untuk kalian yang masih berdebat soal hukum boleh-tidaknya mengucapkan selamat Natal, selamat menghabiskan energi untuk terus berdebat sampai mati!
Salam Takzim, semoga bahagia dan mulia.