"Sebuah Konsorsium Para Filsuf Amatir"

Jumat, 22 September 2017

Sensitifitas

funai_01
Sedikit membongkar fragmen ingatan tentang petuah-petuah lama, lalu saya menemukan secarik nasehat. "Untuk bermasyarakat yang terpenting adalah berahlak".
Lantas apakah ilmu tidaklah penting?
Jangan terburu-buru mengambil kesimpulan layaknya kaum skriptualis, sumbu pendek dan berbagai penyakit sejenisnya.
Jadi begini, perlu kita ketahui bahwa ahlak itu lahirnya dari mana? Tentunya ahlak lahir dari pengetahuan. Jadi, orang yang berahlak mestinya sudah berpengetahuan.
Berdasarkan suara agama yang berbunyi "puncak dari ilmu pengetahuan adalah ahlak," maka petuah di atas dapat dibenarkan.
Lalu, bagaimana dengan org yang berilmu namun belum berbuah ahlak?
Ada redaksi lain yang menyatakan bahwa ilmu dan amal itu adalah sesuatu hal yang berbeda. Namun, saya akan konsisten dengan premis awal bahwa puncak dari ilmu adalah akhlak.
Sehingga orang yang berilmu tetapi belum berakhlak sejatinya belum sampai pada puncak pengetahuan. Jika dipetakan, ilmunya masih di kepala belum turun ke hati.
Jadi, untuk menurunkannya kita butuh yang namanya "sensitifitas" (kepekaan). Pertanyaan selanjutnya apakah sensitifitas itu hanya dimiliki oleh orang berilmu saja?
Mula-mula kita harus bedakan antara orang pinter dan cerdas, kalau orang cerdas melihat batu ditengah jalan ada inisiatif untuk membuangnya. Namun, jika orang pinter mengambil batu kecil tersebut lalu diganti dengan batu yang lebih besar.
Mungkin contohnya terlalu ekstrim kita beralih ke contoh yang berbeda, jika orang pinter melihat sampah ia hanya akan menalar segila mungkin tanpa bertindak. Sedangkan orang cerdas melihat sampah dengan sensitifitas nya ia akan mengambil lalu membuangnya.
Supaya lebih rasional kita ambil contoh yang berbau pendidikan karena kita sedang berbincang persoalan ilmu dan amal. Misalnya begini, jika orang pinter sedang mengajar maka ia akan menyusahkan muridnya dengan penjelasan yang rumit dan tugas berjilid-jilid. Namun, orang cerdas justru sebaliknya ia akan memberikan penjelasan tentang materi yang rumit dengan penjelasan yang sederhana dan mudah dicerna.
Lalu, pertanyaan besarnya, apakah kepekaan tidak dimiliki oleh orang yang kurang berilmu. Karena semua pernyataan di atas seakan-akan mendiskredidkan. Jadi begini, jika orang kurang berilmu (kurang akrab dengan dunia akademik) tetapi ia peka pada selain dirinya maka ia tergolong orang yang cerdas. Karena ia mengamalkan sedikit yang ia tau dan tergolong orang yang berpengetahuan, setidaknya pengetahuan tentang apa yang ia lakukan, selama yang dilakukan benar. Seperti pohon yang batangnya kecil tetapi sudah berbuah dan orang yang berilmu dan belum sempat mengamalkan ibarat pohon besar tetapi belum berbuah.
Akhirnya, sensitifitas bisa dimiliki siapapun akan tetapi tetap dilandasi ilmu pengetahuan walau dengan kadar yang bebeda. Karena dalam bilik sistem masyarakat akhlak menjadi tolok ukur kebaikan bukan seberapa banyak ilmu yang dimiliki akan tetapi seberapa banyak ia dapat mengamalkan.
Semoga kita yang awalnya "sensitif" (hal negatif) menjadi pribadi yang memiliki sensitifitas, dari peka' (abai) menjadi peka.

Popular Posts

Blogroll

Blogger templates

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

Social Profiles

TwitterFacebookGoogle PlusLinkedInEmail

Info

Lorem ipsum no has veniam elaboraret constituam, ne nibh posidonium vel.

Cari Blog Ini

Find Us On Facebook

Featured Video

Featured Video

About

   
WhatsApp Dp

Pages - Menu

Popular Posts